Jumat, 03 Desember 2010

Kent Sutanto, Gemilang di Negeri Sakura

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 15.06



Siapa menanam ilmu, kelak akan menuai prestasi di kemudian hari. Falsafah itulah yang kerap terjadi pada mereka yang selalu mementingkan dunia pendidikan dan tak lelah mengejar ilmu.

Kent Sutanto salah satunya. Pria kelahiran Surabaya, 1951 silam, ini dikenal sebagai sosok yang banyak menghabiskan waktu untuk pendidikan. Terbukti, dia meraih empat gelar doktor dari empat universitas yang berbeda. Kini ilmu yang dimilikinya dimanfaatkan Pemerintah Jepang. Kent memang langka. Dia mampu menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Empat gelar doktornya di peroleh pada bidang applied electronic engineeringdi Tokyo Institute of Technology, medical science dari Tohoku University, pharmacy sciencedi Science University of Tokyo, terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan di Waseda University.

Karena beragamnya ilmu yang dimiliki, tidak heran jika penelitian yang dia lakukan juga beragam dan mencakup banyak bidang ilmu pengetahuan. Dia telah mempunyai 31 paten internasional yang tercatat resmi di Pemerintah Jepang. Latar belakang pendidikan hingga menengah atas dihabiskan di Surabaya. Saat kecil dia mengenyam pendidikan di SD swasta di Kapasari, SMP Baliwerti, dan SMA Budi Luhur. Kent kemudian belajar di Jepang, salah satu alasannya karena tingginya sentimen antiwarga keturunan Tionghoa pada masa Orde Baru. Karena sentimen itu, Kent hanya tamat kelas 1 SMA. Setelah itu dia menekuni toko elektronik orang tuanya di Surabaya.

Tanpa disangka ketekunannya merakit peralatan elektronik membuat salah seorang pembelinya yang berkebangsaan Jepang menawarinya sekolah di Negeri Sakura. Tentu saja Kent tak menyiasiakan peluang tersebut. Pada 1974, saat usinya 23 tahun, Kent akhirnya hijrah ke Jepang. Di Negeri Matahari Terbit itulah jejak sukses Kent terus terlihat meski pada awalnya dia menemui banyak kesulitan. Maklum, keberangkatan Kent ke Jepang hanya bermodalkan nekat. Awalnya Kent tidak bisa langsung kuliah. Dia harus belajar bahasa Jepang terlebih dahulu. Baru pada tahun ketiga di sana dia berhasil kuliah di Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT) dengan mengambil jurusan teknik elektronik. Kemudian melanjutkan master dan doktor. Habis mengambil dua gelar doktor, Kent sempat pulang ke Surabaya.

Setelah itu, dia terus mengejar impian-impiannya yang lain. Sampai akhirnya meraih sejumlah gelar lain. Prestasi akademiknya diakui di Jepang dan Amerika Serikat (AS) dengan menjadi profesor pada usia 37 tahun. Pada 1988–1993, Kent yang juga Direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) ini menjadi associate professordi Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, AS. Prestasi akademiknya juga diakui University of Yokohama (TUY) dengan mencatatnya sebagai di Biomedical Engineering Program University of Yokohama (TUY). Kini Kent mengajar dan tercatat sebagai profesor di kampus almamaternya Universitas Waseda, Jepang.

Dia juga menjabat posisi struktural. Universitas ini merupakan perguruan tinggi swasta terbesar di Jepang. Reputasinya setara dengan universitas negeri seperti Tokyo University, Kyoto University, atau Nagoya University. Selain mengajar di almamaternya, Kent juga menjadi dosen tamu di Universitas Venesia, Italia. Karena kecemerlangannya, pria asal Surabaya yang sudah 35 tahun tinggal di Jepang itu mendapat kepercayaan Pemerintah Jepang menduduki jabatan di Ministry of International Trade and Industry MITI, semacam Departemen Perdagangan dan Perindustrian Jepang.

Di sana Kent menjabat sebagai komite pengawas (supervisor committee). Dia turut membidani konsep masa depan Jepang dengan menjadi Japanese Government 21st Century Vision. Dengan kedudukannya di MITI dia juga bertugas mengawasi kebijakan makro Pemerintah Jepang.

http://suar.okezone.com/read/2010/11/29/283/398215/283/gemilang-di-negeri-sakura

Sehat Sutardja, Anak Jakarta Mendobrak Paman Sam

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 14.53

Saat bersekolah di SMA Kanisius sekira 30 tahun lalu, dia selalu membawa tas echolac berwarna hitam yang bentuknya sangat kaku. Tubuhnya kurus, berkaki panjang, dan berkacamata tebal.

Kendati begitu, dia sangat bersemangat. Kalau bicara, nadanya selalu berenergi dan dia sangat pintar. Dia selalu menolong teman-temannya. Rumahnya terletak di daerah Jakarta Kota. Jika ada praktikum elektronika yang rumit, dia selalu lebih cepat selesai. Keahliannya di bidang elektronika didukung rumahnya yang tidak jauh dari pusat pertokoan Harco di Glodok sehingga dia lebih cepat mendapatkan komponen elektronika. Sosok kurus yang berkacamata tebal itu adalah Sehat Sutardja, yang 10 tahun lalu menggemparkan Amerika Serikat (AS) sebagai anak muda paling kaya, di bawah usia 40 tahun. Nama Sehat Sutardja mungkin terdengar asing di telinga sebagian besar orang Indonesia. Tetapi, tidak di kancah global.

Apalagi, pada 2007 majalah Forbes memasukkan Sehat sebagai salah satu orang terkaya di Negeri Paman Sam. Sehat adalah pendiri Marvell Technology Group, salah satu perusahaan semikonduktor terbesar di dunia. Sehat mendirikan perusahaan ini bersama saudaranya, Pantas Sutardja. Kisah dua bersaudara kelahiran Jakarta yang sukses mendirikan perusahaan di AS itu menjadi inspirasi masyarakat di dalam negeri. Di perusahaan yang didirikan sejak 1995 itu, Sehat menjadi CEO dengan jumlah karyawan mencapai 5.000 orang. Pria kelahiran Jakarta, 9 Juli 1961 silam, ini memang luar biasa. Kecemerlangannya mencapai sukses di Negeri Paman Sam layak mendapatkan decak kagum.

Sehat yang memiliki nama lahir Tjioe Siu Wen yang semasa kecilnya tinggal di Jalan Kebon Jeruk XIV No 1, Jakarta Barat, meraih penghargaan atas 150 paten dan salah seorang fellow The Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE). Sehat dikenal sebagai seorang yang meraih penghargaan sebagai Inventor of the Year oleh the Silicon Valley Intellectual Property Law Association. Sehat mampu membuktikan, menjadi kaya tidaklah mesti dimulai menjadi pengusaha. Namun, kesuksesan di bidang akademik juga amat mendukung. Sehat tercatat sebagai alumnus Iowa State University untuk S-1 dan University of California, Berkeley, untuk gelar master dan doktoralnya di bidang teknik elektro dan ilmu komputer.

Setelah meraih gelar sarjana dari University of California, Sehat menikahi Weili Dai dan kini dikaruniai dua putra, Christopher dan Nicholas, yang dua-duanya juga kuliah di perguruan tinggi yang sama seperti orang tuanya. Namun, jangan salah. Riwayat pendidikan Sehat di bidang teknik elektro justru dimulai di Jakarta. Sewaktu usia 14 tahun dia lulus dari lembaga Kursus Radio Gembira di Jalan Gajah Mada 213, Jakarta Kota, tahun 1975 silam, untuk ijazah reparasi radio transistor. Kini Sehat telah menjelma sebagai salah seorang konglomerat di AS. Beragam predikat diraih Marvell sebagai perusahaan maupun Sehat secara pribadi.

Di antaranya, Sehat terpilih sebagai orang terkaya peringkat 374 dalam daftar 400 orang terkaya di AS versi majalah Forbes. Forbes juga menobatkan Sehat sebagai orang terkaya ke-891 di dunia pada 2007. Sementara, Marvell Technology terpilih sebagai salah satu dari 400 perusahaan terbesar di dunia tahun 2006 dan 2009. Tahun 2010 Sehat tercatat memiliki pendapatan sebesar USD1.642.000 atau sekira Rp16,4 miliar per tahun, dengan rincian gaji sebesar USD657.000 dan bonus USD985.000 per tahun. Nama Sehat juga tercantum dalam majalah Forbes dengan kekayaan bersih USD1 miliar atau sekira Rp10 triliun. Dia masuk dalam kategori Exclusive Billioners Club untuk pertama kalinya pada 2007.

Perjuangan Sehat bersama tiga orang teman menembus industri semikonduktor di AS bisa menjadi inspirasi. Dia sebelumnya bukan siapa-siapa yang kemudian menjadi orang besar. Hanya dalam waktu 10 tahun, setelah didirikan tahun 1995, Marvell berkibar sebagai perusahaan yang paling dipercaya publik. Beragam media skala internasional, mulai Forbes hingga Bloomberg, pun menuliskan kisah sukses Sehat dalam merintis kesuksesannya. Selain sebagai Presiden Direktur Marvell, Sehat menjabat Presiden dan CEO pada Marvell Semiconductor Inc sejak 1989–1995, Manajer dan the Principal Project Engineer at 8x8 Inc, dan Dewan Penasihat pada of ICCP Venture Partners Inc yang berkantor di Silicon Valley.

Bahkan, pada Maret 2009 University of California menobatkan Sehat bersama istrinya dan kakaknya sebagai orang yang mendonasikan sebesar USD20 juta untuk pendirian laboratorium pembuatan nano di universitas tersebut. Padahal, ketika usianya masih 12 tahun, Sehat menganggap keahliannya dalam melakukan bongkar pasang gelombang radio pendek dan regulator voltase hanyalah main-main. Apalagi bagi orang tua Sehat, elektronik saat itu belum menjanjikan sebagai salah satu bidang karier yang menghasilkan. Namun, Sehat kecil sudah memiliki impian untuk mendesain dan membuat peralatan elektroniknya sendiri meski orang tuanya berpikir bahwa elektronik tidak akan banyak memberikan peluang ekonomi bagi Sehat, kecuali hanya sebagai tukang reparasi televisi.

“Mereka menginginkan saya menjadi seorang dokter,” ujar Sehat sebagaimana dilansir Bloomberg. Segala macam kesuksesan yang diraih Sehat bukan tanpa perju angan. Selain karena otaknya yang encer, Sehat membangun bisnisnya benar-benar dari bawah dan jatuh bangun. Sehat adalah cerita sukses perjuangan seorang imigran dari Indonesia dengan mengandalkan ilmu pengetahuan. Dia hijrah ke AS saat berusia 19 tahun. Dia pun memilih tinggal dan menjadi warga AS. Bersama kakaknya, Pantas Sutardja, Sehat mendirikan Marvell Technology Group, perusahaan yang terdaftar dan go public di indeks bursa Nasdaq New York Stock Exchange.

Bukan cuma itu, Marvell tercatat sebagai one of the best managed company in America dan menjadi kampiun di semi-conductor company top ten list. Usai menamatkan sekolah di SMA Kolese Kanisius, Jakarta, Sehat yang bermodalkan semangat, melamar di University of California, Berkeley, AS. Diterima di universitas bergengsi tak berarti jalan hidup Sehat lurus-lurus aja. Pada 1995, Sehat berpikir bahwa bila ingin sukses dia harus memiliki perusahaan sendiri. Bersama kakaknya, Pantas Sutardja, dan istrinya, Weili Dai, mereka mengumpulkan uang lalu mendirikan perusahaan TI, Marvell Group.

Tahun-tahun awal dilalui dengan berat. Mereka bekerja tak kenal waktu siang dan malam demi kesempurnaan produknya.

http://suar.okezone.com/read/2010/11/29/283/398237/anak-jakarta-mendobrak-paman-sam

Kelender Event Budaya Kota Solo 2011

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 06.40

Sebelumnya minta maaf karena belum diedit. masih ngantuk....



-----------

Calendar of Cultural Event Solo 2011

Kalender Event Budaya Kota Solo 2011





Minggu, 30 Januari

Sunday, January 30th

Grebeg Sudiro

Venue : Pasar Gede

Acara yang digelar untuk memeriahkan Tahun Baru Imlek.

Gunungan dari ribuan kue keranjang dikirabkan di sekitar Pasar

Gede. Peserta berbusana tradisional Jawa dan Tionghoa mengiringi

dengan membawa lampion. Acara dimeriahkan dengan

penampilan liong, barongsai dan kesenian lainnya.

Celebrating Imlek or Chinese New Year. There are thousands of

keranjang cakes or Chinese cakes made in piles brought by people in

javanese and chinese costumes with lampions in their hands in a

procession around Pasar Gede. Other attractions like Liong and

Barongsai and other traditional attractions are also presented here.



Rabu, 9- Selasa, 15 Februari

Wednesday, February 9th –Tuesday, February 15th

Sekaten

Venue : Alun-alun Utara Kraton Kasunanan Surakarta

North Square of Surakarta Kasunanan Palace

Kata Sekaten berasal dari istilah agama Islam, Syahadatain atau

dua kalimat syahadat. Ritual untuk memperingati Hari Kelahiran

Nabi Muhammad SAW ini dimeriahkan berbagai pertunjukan dan

pasar rakyat yang memasarkan souvenir dan kerajinan tangan

lainnya. Ada pula pameran benda-benda pusaka di Pagelaran

Keraton. Di bangsal Masjid Agung, dibunyikan gamelan Kyai

Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari mulai pukul 09.00-24.00

(istirahat saat masuk waktu salat).

The word Sekaten comes from Islamic terminology, Syahadatain

or two sentences of Shahadat. The rite is to commemorate the

birthday of Muhammad SAW the prophet. There are many

attractions performed in this event. Local souvenirs and traditional

handicrafts are also sold here. In Pagelaran Keraton, people will find

an exhibition of Surakarta heritage. Whereas people may enjoy

traditional music from gamelan instruments called Kyai Guntur

Madu and Kyai Guntur Sari in Masjid Agung (Great Mosque) hall

from 09.00 A.M - 12.00 P.M.



Rabu, 16 Februari

10.00 WIB-Selesai

Wednesday, February 16th

10.00 A.M.

Grebeg Mulud

Venue : Keraton Kasunanan Surakarta

Masjid Agung

Surakarta Kasunanan Palace – Masjid Agung

Puncak dari perayaan Sekaten adalah keluarnya Gunungan dari

Keraton menuju Masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan

kemudian dibagikan kepada masyarakat.



Jumat, 18 - Selasa, 22 Februari

Friday, February 18th – Tuesday, February 22nd

Festival Ketoprak

Venue : Gedung Kesenian Balekambang

Pementasan grup-grup ketoprak yang ada di Kota Solo



Minggu, 20 Februari

Sunday, Feb.20th

Solo Karnaval

Venue : Jalan Slamet Riyadi

Slamet Riyadi street

Karnaval budaya dalam rangka peringatan Hari Jadi

ke-266 Kota Solo

Cultural Carnival to Commemorate the 266 years of Solo City.



Sabtu, 19 Maret

Saturday, March 19th

Festival Tirtonadi

Venue : Pelataran Sungai Kalianyar

Kalianyar river

Pagelaran seni budaya berupa tari, seni lukis dan seni

instalasi bertema air. Dimeriahkan juga dengan pasar rakyat

dan karnaval budaya.

An art and cultural festival that perform traditional dances,

paintings and instalation art with water as its theme. There are

also local market and cultural carnaval held in this event.



Senin, 4 April

Monday, April 4th

09.00 WIB

09.00 A.M.

Mahesa Lawung

Venue : Keraton Kasunanan Surakarta

Hutan Krendhawahana

Kasunanan Palace – Krendhawana forest

Ritual adat Keraton Kasunanan Surakarta untuk memohon

keselamatan dan supaya terhindar dari segala macam mara bahaya.

Peserta upacara berangkat dari Gondorasan ke Bangsal Sewayana

Keraton Surakarta kemudian seterusnya menuju ke Hutan

Krendhawahana di Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar (14 Km

arah utara Kota Solo). Tempat ini dianggap sakral dan merupakan

tempat semedi para leluhur Keraton Mataram. Dalam upacara juga

disiapkan sesajen berupa sebuah kepala kerbau dengan

ubarampenya.

It is a rite of Surakarta Kasunanan Palace to pray for safety and be

freed from any disaster. The participants depart from Gondorasan to

Bangsal Sewayana of Kasunanan palace and heed to Krendhawahana

forest in Gondangrejo, Karanganyar (14 Km north of Solo). The place

is considered sacred because it is believed that it was the place where

the Mataram ancestors meditated. For an offer, a buffalo head and its

complements are given in this rite.



Jumat, 29April - Minggu, 1Mei

Friday, April 29th – Sunday, May 1st

Bengawan Travel Mart

Venue : Solo dan kota-kota sekitarnya

Solo and the cities around Solo

Mempertemukan para sellers dan buyers pariwisata .

To meet the sellers and buyers of tourisms.



Jumat, 29 April

Friday, April 29th

Solo Menari

Venue : JalanSlamet Riyadi

Slamet Riyadi street

Tarian sehari penuh di sepanjang jalan utama Kota Solo

A whole day traditional dance performances along Surakarta

main road.



Jumat, 6 - Minggu, 8 Mei

Friday, May 6th – Sunday, May 8th

Festival Dolanan Bocah

Venue : Kawasan Gladhak

Atraksi permainan anak-anak tempo dulu yang hingga kini

tetap dimainkan.

An old time traditional games for kids presentation.





Jumat, 20 - Sabtu, 21 Mei

Friday, May 20th – Saturday, May 21st

Mangkunegaran Performing Art

Venue : Pura Mangkunegaran

Mangkunegaran Palace

Pentas seni budaya karya adiluhung Dinasti Mangkunegaran.

An art performance. Performing Mangkunegaran dinasty's

cultural masterpieces.



Kamis, 16 Juni - Sabtu 18 Juni

Thursday, June 16th –Saturday, June 18th

Solo Kampong Art

Venue : Kawasan Monumen 45 Banjarsari

Menampilkan seniman-seniman kampung yang

memiliki kemampuan dan bakat seni tinggi sekaligus

memperingati hari jadi Pemerintah Kota Solo

Performing local artists who have great talents as wheel

as to celebrate the birthday of Surakarta local

administration.



Minggu, 19 Juni - Selasa, 21 Juni

Sunday, June 19th –Tuesday, June 21st

Kreatif Anak Sekolah Solo

(KREASSO)

Venue : Kawasan Mangkunegaran

Ajang untuk menampilkan kreativitas anak-anak sekolah,

pentas seni, unjuk prestasi siswa, dsb.

An exhibition of students'creativities, art performances,

achievements, etc.



Solo Batik Carnival

Venue : Jalan Slamet Riyadi

Slamet Riyadi street

Sabtu, 25 Juni

19.00 WIB

Saturday, June 25th

07.00 P.M.

Karnaval yang mengambil tema batik. Untuk itu bahan yang

digunakan para peserta semuanya juga batik. Tahun 2008, 2009 dan

2010 acara ini mampu menyedot perhatian ratusan ribu orang. SBC

digelar untuk mengangkat citra batik dan Solo sebagai Kota Batik.

Ratusan model akan memperagakan busana batik, kreasi mandiri

peserta karnaval dalam tampilan dan desain yang makin atraktif,

memikat dan berani.

A batik themed carnival. All participants use fantastic costumes

made of batik. In 2008, 2009 and 2010 this event had attracted

hundred thousands of people to watch. SBC is held to promote batik

and Solo as batik city. Hundreds of models exhibit their batik

costumes which they have created themselves in attractive and

dauntless designs.



Sabtu, 25 - Minggu, 26 Juni

Saturday, June 25th –Sunday, June 26th

Keraton Art Festival

Venue : Keraton Kasunanan Surakarta

Surakarta Kasunanan Palace

Ajang yang mempertunjukkan warisan budaya Keraton yang

tangible (koleksi pusaka, peninggalan artefak, dll) serta yang

intangible (upacara adat, peragaan busana Keraton dsb).

An exhibition of intangible and tangible cultural heritages of

Surakarta Kasunanan Palace.



Senin, 27 Juni

Monday, June 27th

Tingalan Jumenengan Dalem ke-7 ISKS XIII

Venue : Keraton Kasunanan Surakarta

Surakarta Kasunanan Palace

Upacara peringatan kenaikan tahta SISKS Paku Buwono XIII.

Dalam acara ini dipergelarkan tarian sakral Bedaya Ketawang, yang

tidak semua penari bisa melakukan dan hanya digelar dalam event

yang sangat khusus. Pada saat itu biasanya juga dilakukan

pemberian gelar kebangsawanan kepada orang-orang yang

dianggap berjasa kepada Keraton.

Commemorating the coronation of SISKS Paku Buwono XIII. In

this event, a Bedaya Ketawang, a sacred dance, is performed. Only

special dancers can do the Bedaya Ketawang dance and only for a

very special. In this event, people who are considered to have given

great services to the palace will receive aristocracy titles from the

king.



Jumat, 1- Minggu, 3 Juli

Friday, July 1st–Sunday, July 3rd

Solo International Performing Art

(S I P A)

Venue : Pamedan Mangkunegaran

Sebuah pentas seni pertunjukan yang mempertontonkan

kekayaan pusaka non-bendawi (Intangible Heritage), tak hanya

dari Solo, tetapi juga dari daerah-daerah lain di Indonesia serta dari

manca negara.

An international art and cultural exhibition of intangible

heritages.



Senin, 4 - Rabu, 6 Juli

Monday, July 4th –Wednesday, July 6th

Solo Culinary Festival

Venue : Kompleks Balaikota

Ekspose keanekaragaman makanan dan minuman khas Jawa

khususnya Solo. Ditampilkan pula makanan khas daerah-daerah

lain di Indonesia serta dari manca negara.

An exhibition of traditional local food and beverages either

from local towns and other countries.



Senin, 4 - Rabu, 6 Juli

Monday, July 4th –Wednesday, July 6th

Solo Batik Fashion

Venue : Kompleks Balaikota

Balaikota/city hall

Penampilan busana berbahan dasar batik dari para desainer.

Performing batik clothes by famous designers.



Kamis, 7 - Sabtu, 9 Juli

Thursday, July 7th –Saturday, July 9th

Pentas Wayang Orang Gabungan

Venue : Gedung Wayang Orang Sriwedari

Pagelaran gabungan kelompok-kelompok wayang orang yang

masih lestari hingga saat ini.

Wayang orang performances from an affiliation of wayang orang

groups which still remain exist todays.



Jumat, 8- Minggu, 10 Juli

Friday, July 8th– Sunday, July 10th

Kemah Budaya

Venue: Lapangan Kota Barat

Kota Barat field

Pembelajaran kemandirian pelajar sekolah (SD, SMP, SMA)

dalam nuansa budaya.

Students independence training in cultural atmosphere.

The participants come from elementary grades up to senior high

school grades.



Sabtu, 20 Agustus

19.00 WIB

Saturday, August 20th

Malem Selikuran 07.00 P.M.

Venue : Keraton Kasunanan Surakarta – Taman Sriwedari

Surakarta Kasunanan Palace–Sriwedari Park

Ritual tradisional Keraton Surakarta Hadiningrat dan

masyarakat Solo yang dilakukan setiap malam ke-21 Bulan

Ramadhan, untuk memperingati Nuzulul Quran (saat Alquran,

Kitab Suci Agama Islam, diturunkan kepada Nabi Muhammad

SAW). Acara ditandai dengan kirab 1.000 tumpeng dari halaman

Pagelaran Keraton, menuju Taman Sriwedari, yang diikuti para

prajurit keraton, serta barisan 21 lampu ting, yang melambangkan

peringatan "Malem Selikuran".

A traditional rite of Surakarta Kasunanan Palace and local

people which is held every 21st night of Ramadhan month to

commemorate Nuzulul Quran (an event where Alquran, a moslem

holy bible was given to Muhammad SAW the prophet). A procession

of 1000 tumpeng from Pagelaran Keraton to Taman Sriwedari starts

the rite. The procession is followed by a defile of Kasunanan Palace

soldiers and people who brings 21 lampost simbolysing ”Malem

Selikuran".



Sabtu, 23 Juli

Saturday, July 23r

Grand Final Pemilihan Putra-Putri Solo

Venue : Ngarsopuro

Puncak acara dari rangkaian proses pemilihan Putra-Putri Solo 2011

The final of Putra Putri Solo 2011 election programe.





Rabu, 31 Agustus

10.00 WIB

Wednesday, August 31st

10.00 A.M.

Grebeg Poso

Venue : Keraton Kasunanan Surakarta

Masjid Agung

Kasunanan palace – Masjid Agung

Upacara tradisional yang digelar berkaitan dengan Hari Raya

Idul Fitri. Pada saat itu dilaksanakan prosesi membawa gunungan

dari Keraton Surakarta ke Masjid Agung

A traditional rite which is held due to the Idul Fitri day. There is

a procession bringing Gunungan from Kasunanan Palace to Masjid

Agung



Pekan Syawalan Jurug

Venue : Taman Satwa Taru Jurug

Kamis, 1 - Minggu, 11 September

Thursday, September 1st – Sunday, September 11th

Rangkaian peringatan syawalan yang dipusatkan di TSTJ.

A sequence of syawalan commemoration which is held in TSTJ





Kamis, 1 - Minggu, 11 September

Thursday, September 1st – Sunday, September 11th

Bakdan ing Balekambang

Venue : Taman Balekambang

Pementasan seni pasca lebaran di Taman Balekambang.

Art performances which are held to celebrate Idul Fitri in

Balekambang park.



Kamis, 29 - Jumat 30 September

Thursday, September 29th – Friday, September 30th

Solo Keroncong Festival

Venue : Kawasan Mangkunegaran

Menampilkan para seniman keroncong nasional maupun

lokal, dalam upaya melestarikan musik tradisi dan memupuk rasa

nasionalisme.

Performing either local or national keroncong music artists, in

order to preserve traditional music as well as to strengthen

nationality.



Sabtu, 1 Oktober

Saturday, October 1st

Grand Final Cipta Lagu Keroncong

Venue : Solo

Puncak acara lomba cipta lagu-lagu keroncong yang digelar

dalam upaya untuk melestarikan seni keroncong.

The final of a keroncong songs competition. It is held in order to

preserve the art of keroncong music.



Jumat, 7 - Minggu, 9 Oktober

Friday, October 7th –Sunday, October 9th

Wayang Bocah

Venue : Gedung Wayang Orang Sriwedari

Pentas wayang orang yang dimainkan oleh anak-anak dari

kelompok-kelompok seni & sanggar-sanggar dikota Solo dan

daerah-daerah sekitarnya.

Human puppet shows performed by children of some art studios

and groups from Solo or the cities around.



Minggu, 16 Oktober

Sunday, October 16th

Bengawan Solo Gethek Festival

V e n u e : L a n g e n h a r j o - J u r u g

Kontes gethek untuk mengenang dan melestarikan masa-masa

bengawan solo sebagai alat transportasi utama.

a rafting festival to recollect Bengawan Solo river as the main

river transportation at the past and to preserve it.



Jumat, 21 - Minggu, 23 Oktober

Friday, October 21st –Sunday, October 23r

Pasar Seni Balekambang

Venue : Taman Balekambang

Menyuguhkan pentas seni, budaya maupun lukisan yang

merupakan rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun Taman

Balekambang.

Presenting art and cultural performances and paintings to

celebrate the birthday of Balekambang park.



Javanesse Theatrical

Venue : Solo

Jumat, 28 - Minggu, 30 Oktober

Friday, October 28th – Sunday, October 30th

Pementasan teater jawa.

Javanese theater performances.



Minggu, 6 November

Sunday, November 6th

Kirab Apem Sewu

Venue : Kampung Sewu

Kirab yang digelar warga Kampung Sewu, Jebres, sebuah kawasan

di tepian Bengawan Solo. Ada 1.000 apem yang dikirabkan (diarak) di

sekeliling kampung. Apem-apem itu diusung dalam berbagai wadah

dan bentuk.

A parade organized by the local people from Kampung Sewu,

Jebres, a small kampong alongside Bengawan Solo river. There are 1000

apem placed in various containers and brought by people in the parade



senin, 7 November

10.00 WIB

Monday, November 7th.

Grebeg Besar 10.00 A.M.

Venue : Keraton Kasunanan Surakarta

Masjid Agung

Surakarta Kasunanan Palace - Masjid Agung

Perayaan Tahun Baru menurut Kalender Jawa. Malam satu Suro jatuh

mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa

(30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama

tahun berikutnya (1 Suro).

- Di Mangkunegaran dilakukan jamasan (pencucian) benda pusaka

kemudian dikirabkan keliling Pura Mangkunegaran.

- Di Keraton Surakarta, ritual 1 Sura juga dilakukan kirab benda-benda

pusaka mengelilingi Benteng Keraton pada dini hari tanggal 27. Yang menarik

adalah ikut sertanya beberapa kebo bule (kerbau albino) sebagai cucuk

lampah (yang mengawali rombongan peserta kirab)

An annual rite of javeanese new year according to the javanese calendar.

The First Suro night starts as the sun sets in the last month of javanese calendar

(30/29 Besar) until the sun rises on the first day of the new day (1 Suro).

-A rite held to clean the Mangkunegaran traditional weapons before they

are brought in a procession around the Mangkunegaran palace.

- 1 sura rite is also held in Surakarta Kasunanan Palace. Many traditional

weapons are brought in a procession that marchs around Benteng of

Kasunanan Palace. It is conducted on 27th of the month in the morning. Some

albino buffaloes that join the march as the leaders give more interesting

attraction to the procession.



Sabtu, 26 malam - Minggu, 27 November

20.00 WIB - 04.00 WIB

Saturday, November 26th

08.00 P.M.– 04.00 A.M.

Kirab Malam 1 Sura

Pura Mangkunegaran

Surakarta Kasunanan Palace - Mangkunegaran palace

Venue : Keraton Kasunanan Surakarta

Ritual tahunan untuk memperingati Ibadah Haji (Idul Adha).

Acara ini berlangsung di depan Masjid Agung Solo. Puncak

perayaan ditandai saat Hajad Dalem Gunungan dibawa dalam

prosesi dari Keraton Surakarta menuju Masjid Agung.

An annual rite to commemorate the Ibadah Haji (Idul Adha).

The event is held in front of Masjid Agung. It is then closed by the

procession of people bringing Hajad Dalem Gunungan from

Surakarta Kasunanan Palace toward Masjid Agung.



Senin, 5 Desember

Monday, December 5th

Wiyosan Jumenengan SP KGPAA Mangkoe Nagoro IX

Venue : Pura Mangkunegaran

Mangkunegaran Palace

Peringatan naik tahta Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati

(KGPAA) Mangkoe Nagoro (MN) IX, Penguasa Pura

Mangkunegaran Solo. Dalam acara ini digelar tarian sakral Bedaya

Anglir Mendung. Sehari sebelumnya dilakukan wilujengan

selametan

To commemorate the coronation of Kanjeng Gusti Pangeran

Arya Adipati (KGPAA) Mangkoe Nagoro (MN) IX, the king of

Mangkunegaran Palace Solo. Perfomed in this event is a sacred

dance Bedaya Anglir Mendung. Wilujengan selametan is held a day

before the commemoration.



Sabtu, 31 Desember

Saturday, December 31st

Pesta Budaya dan Kembang Api Malam Tahun Baru

Venue : Solo

Menampilkan atraksi budaya dan pesta kembang api

menyongsong Tahun Baru 2012.

Presenting a cultural attraction and a fireworks party to

welcome the new year of 2012.



Agenda Rutin Sepanjang Tahun

Routine Agenda

Wayang Kulit

Tiap Malam Rabu Legi

Every Wednesday ( Legi)

Pondok Timasan,

Makam Haji, Pajang



Tiap Malam Jumat Kliwon

Every Friday night (Kliwon)

Pendapa Ageng Taman Budaya

Jawa Tengah di Surakarta



Tiap Malam Minggu ganjil

Every Saturday night at the first and third weeks of the month

Kampung-kampung Kota Surakarta



Wayang Orang

Tiap Malam (Senin – Sabtu)

Every night (Monday–Saturday)

GWO

Taman Sriwedari Surakarta



Tiap Minggu ke-2

RRI Surakarta

Every second week RRI Surakarta



Sarasehan

Tiap Tanggal 25

(SELAWENAN)

Every 25th of the month

Kampoeng Batik Laweyan



Cultural Performance

Tiap Tanggal 26

(NEMLIKURAN)

Every 26th of the month

SMKI/SMKN 8 Surakarta

Selasa, 23 November 2010

left behind

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 19.46



when you left this town

and of course left me alone

when your shadow still appear in my mind

that's very painful

left behind

alone

I still wanna go there

but at this rate, it will ends with failure

again

and I'll cry in my room

like always I do

but still, I wanna go

when the future seems so dark

and all my dreams disappear

one by one


can I?

Sabtu, 20 November 2010

tetembangan jawa

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.26



ketika saya kecil, hampir tiap hari saya mendengarkan tetembangan jawa, baik itu secara langsung atau tidak langsung, ketika kakek saya dengan tidak sengaja 'nembang' pada pagi hari, ketika memainkan permainan anak-anak teman masa kecil, ketika mengaji di surau dinding kayu, ataupun ketika sayup-sayup adzan maghrib mulai terdengar -karena biasanya setelah itu gemulainya tembang mulai dialunkan-. Saya pun hafal beberapa, pitik walik jambul, buto galak, cublek-cublek suwung, padang bulan, dan tentunya yang wajib untuk bisa : macapat.



tapi sekarang, sepertinya tidak akan terdengar lagi. Pengaruh modernisasi dengan HP, Televisi, Internet, dan sejenisnya -meskipun bayak manfaat- membuat lagu-lagu ini mulai terpinggirkan. Sekarang lagu yang sedang marak di kalangan anak kecil adalah lagu-lagu yg dibawakan di televisi. lagu-lagu tentang cinta, yang dibawakan oleh penyanyi yang (sebagian besar) kelakuannya tidak bisa ditiru, dan kadang liriknya asal-asalan. Bukan salah mereka, memang kita hanya berjalan pada keadaan yang seperti itu.



Tetembangan jawa mempunyai makna, arti, & pesan -tersirat atau tersurat- tentang berbagai hal mengenai kehidupan. Saya bersyukur pernah hidup & mendengar tetembangan ini. Saya bersyukur pernah merasakan bermain bersama teman-teman memainkan permainan jawa, saya bersyukur pernah mandi di kali ataupun 'nyemplung' di sawah, dan saya juga bersyukur hidup di masyarakat yang megajari saya etika, norma, tata krama, tata susila, ungguh-ungguh, subasita, & pitutur -sesuatu yang menjadi keistimewaan khas orang Jawa-



berikut saya berikan beberapa contoh tetembangan yang masih bisa saya ingat :



Pitik Walik Jambul

pitik walik jambul

sega golong mambu enthong

monggo sami kundur

weteng kulo sampun kosong

enake…enak

sega liwet jangan terong

teronge ijo

bocah keset dadi bodho

teronge bunder

bocah sregep dadi pinter



Padang Bulan

Yo prakonco dolanan ning njobo

Padang bulan padange kaya rina

Rembulane e wis awe awe

Ngelingake ojo padha turu sore...

Yo prokonco yo podho mreneo

Rame rame ing kene suko suko

Langite padang sumebyar lintang

Yo podho dolanan sinambi cangkriman ...



Cublak-cublak Suweng

Cublak-cublak Suweng

Suwenge ting gelenter

Mambu ketundung gudel

Pak empo lirak-lirik

sapa ngguyu ndelekake

sir sir pong

dele gosong

sir-sir pong

dele gosong



Eling-eling sira manungsa

(Bait awal serat 'Ojo Dumeh Sugih Banda')

Eling-eling sira manungsa,

Temenana anggenmu sholat ngaji,

Mumpung durung katekanan

Malaikat juru pati.

Luwih susah luwih lara,

Rasane wong nang naraka,

Klabang kures kalajengking,

Klabang geni ula geni,

Rante geni,gada geni.

Cawisane wong kang dosa,

Angas mring kang Maha Kwasa,

Goroh,nyolong main zina.

Luwih beja luwih mulya,

Rasane manggon suwarga,

Mangan turu diladeni,

Kasur babut edi peni.

Cawisane wong kang bekti,

Maring Allah kang Maha Suci,

Sadat salat pasa ngaji,

Kumpul-kumpul ra ngrasani.



Buto Galak

buto-buto galak,

solahmu lunjak-lunjak,

sarwi sigrak-sigrak,

nyandhak kanca nuli tanjak,

bali ngadeg maneh,

rupamu ting celoneh,

iki buron apa tak sengguh buron kang aneh,

lha wong kowe..we..we

sing mara-marai ihi-ihi aku wedi ayo kanca padha bali,

galo kae-galo kae,

mripate plerak-plerok,

kulite ambengkerok,

hi..hi.. aku wedi…..

ayo kanca padha bali



Sluku-Sluku Bathok

sluku-sluku bathok,

bathoke ela-elo,

si rama menyang solo,

leh-olehe payung motho,

mak jenthit lolo lobah,

wong mati ora obah,

nek obah medeni bocah,

nek urip goleka dhuwit



update jika sudah ingat, tangan pegel leh nulis....



sebenarnya ada satu tembang yang sedang saya cari versi full nya. karena saya tanya-tanya ternyata banyak yang tidak akrab dengan tembng ini. dan saya pun hanya mengenal beberapa potong liriknya, seperti ini :



.....Munkar Nakir menika asmane

ditakeni malaikat benjing

yen sampun dumugi akhirat

Nggih sinten tho Malaikat punika

Utusane Allah kang maha mulya

........dadi tanggung jawab....

......



tembang bagus dengan makna yang sangat dalam....



cekap semanten, menawi wonten salah pakecapan kula nyuwun pangapunten....



rahayu,

nuwun

Dokter Oen

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.25

Dokter Oen, yang mempunyai nama asli Oen Boen Ing, adalah seorang dokter terkenal yang sosiawan di kota Solo.

Oen Boen Ing dilahirkan dalam sebuah keluarga pedagang tembakau yang kaya-raya, cucu seorang sinshe Tionghoa yang juga suka menolong banyak orang. Karena pengaruh kakeknya itulah, ia kemudian dikenal sebagai dokter yang banyak membantu pasiennya, khususnya mereka yang tidak mampu membayar biaya dan ongkos membeli obat-obatan.

Karena itulah, sejak lulus sekolah menengah, Boen Ing sudah ingin mempelajari ilmu kedokteran Barat dan menjadi dokter. Namun keinginan ini ditentang keras oleh keluarganya, karena mereka tidak mau ia menjadi kaya dari penderitaan orang yang sakit. Meskipun demikian, ia tetap bertekad mewujudkan cita-citanya untuk menjadi dokter. Ia pun mendaftarkan diri di School tot Opleiding van Inlandsche Arsten (STOVIA) di Batavia, dan lulus pada 1932.

Nama Oen Boen Ing tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Rumah Sakit Panti Kosala yang dimulai sebagai sebuah poliklinik kecil yang bernama Tsi Sheng Yuan atau Jisheng Yuan. Pada tahun 1935 Dr. Oen Boen Ing mulai terlibat dalam pelayanan klinik tersebut dan kemudian menjadi pemprakarsa berdirinya Yayasan Kesehatan Tsi Sheng Yuan, yang kemudian membentuk RS Panti Kosala. Hal ini terjadi sekitar tahun 1951, ketika Poliklinik Tsi Sheng Yuan dilepaskan dari HCTNH. Dr. Oen Boen Ing menganjurkan agar Tsi Sheng Yuan menjadi sebuah yayasan untuk menampung kegiatan poliklinik.

Rumah sakit yang didirikan oleh Yayasan Tsi Sheng Yuan ini biasa disebut sebagai Rumah Sakit Kandang Sapi, karena pada 1954 rumah sakit ini dipindahkan ke daerah Kandang Sapi (Mojosongo) dan menjadi rumah sakit besar.

Sampai tahun 1942, poliklinik Tsi Sheng Yuan banyak membantu Chineesche Burger Organisatie (CBO) dan semasa pendudukan Jepang dikelola oleh Kakyo Sokai (Gabungan Organisasi-organisasi Tionghoa). Ketika perang kemerdekaan datang, poliklinik berubah fungsi menjadi rumah sakit darurat, menampung para pejuang dan pengungsi.

Menurut kesaksian Soelarso, Ketua Paguyuban Rumpun Eks Tentara Pelajar Detasemen II Brigade XVII, "...tanpa menghiraukan tembakan Belanda, Dr Oen keluar masuk wilayah TNI untuk mengobati para prajurit..."

Sebagai dokter, Oen Boen Ing terkenal tidak membeda-bedakan pasiennya, apapun juga kelompok etnis, suku, agama, dan kelas sosialnya. Bahkan pasien dibiarkannya mengisi ataupun tidak mengisi kotak uang yang terletak di ruang praktiknya secara suka rela. "Tugas seorang dokter adalah menolong," demikian semboyan kehidupan dan pelayanan Dr. Oen.

Ketika Dr. Oen meninggal dunia pada 1982, rakyat banyak sungguh merasakan kehilangan yang besar. Hal ini tampak dari kehadiran ribuan rakyat kecil kepadanya yang berdiri di tepi jalan untuk memberikan penghormatan mereka yang terakhir kepada orang yang telah berjasa memberikan kehidupan yang lebih sehat kepada mereka di tengah-tengah keberadaan mereka yang serba kekurangan.

Karena jasa-jasanya dan pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada masyarakat, Dr. Oen Boen Ing mendapatkan penghargaan Satya Lencana Bhakti Sosial dari pemerintah Republik Indonesia. Beliau juga dianugerahi gelar kebangsawanan oleh Sri Mangkunegoro VIII, dengan nama Kanjeng Raden Tumenggung Oen Boen Ing Darmohusodo. Kemudian Sri Mangkunegoro IX menaikkan gelarnya dari Kanjeng Raden Tumenggung menjadi Kanjeng Raden Mas Tumenggung Aryo Oen Boen Ing Darmohusodo.

Dokter Lo

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.24



Dokter Lo, mirip hantu. Namanya menjadi bahan pembicaraan, juga kekaguman, namun sosoknya jarang terlihat. Dokter Lo Siauw Ging, 74 tahun kadang memakai tongkat, identik dengan dokter gratis, bagi pasien-pasiennya. Membuka praktek di kediamannya di Jagalan, Jebres, dari pukul 06.00 hingga pukul 08.00, pagi. Disambung sore hari, pukul 16.00 hingga pukul 20.00. Dengan bayaran gratis, atau semampu pasien. Berapa saja. Tidak jarang yang mendapat bantuan obat gratis, atau kadang bantuan untuk mondok di rumah sakit. "Ada donatur yang tak mau disebutkan identitasnya."

Dokter Lo sendiri juga menolak publikasi, bahkan tidak suka difoto.

"Ini panggilan jiwa saya. Sebagai manusia, saya ingin membantu yang tidak mampu."

Ucapan sederhana, merendah, dan menjamah masalah yang mendasar. Bahwa sesungguhnya, kesehatan adalah hak semua umat manusia. Hak tersebut juga dilindungi undang-undang. Maka cukup menyedihkan kalau sampai ada warga yang tak bisa memperoleh hak untuk sehat.

Bagi Dokter Lo, bukan bayaran jasa konsultan medisnya yang penting. "Ada kepuasan tersendiri. Itu yang tak bisa diukur dengan uang." Di tengah dunia yang begitu mengejar harta, di arus kuat 'menjadi dokter agar kaya', kehadiran Dokter Lo tergolong luar biasa. Para pasien yang berobat kepadanya - yang juga diberi nasehat atau marah karena terlambat berobat, bisa bercerita panjang lebar. "Sang dewa penolong" ini juga tak berniat memensiunkan diri. Karena, bisa ditebak, masih selalu ada yang memerlukan jasa baiknya.

Dokter Lo seakan membuktikan bahwa sesungguhnya kebaikan tanpa pamrih masih bisa dilakukan. Pendahulunya, Dokter Oen - yang kini diabadikan namanya menjadi rumah sakit besar dan masih tetap sosial, adalah contoh hidup, contoh kemanusiaan yang perkasa, yang berjalan diam-diam. Yang tak memerlukan hura-hura kekaguman, atau menjadi tenar karena perbuatan sosialnya. Ini yang monumental. Ini yang menyebabkan kita masih terus mempercayai bahwa masih banyak orang-orang yang baik, yang memperhatikan sesamanya, yang peduli, dan tak ingin dipuji secara berlebihan.


Matur nuwun pak dokter, bahkan kata ini pun bisa jadi hanya diucapkan dalam hati.

.

.

.

diambil dari Kitab Solo

HIK

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.14

wedangan hik



HIK, tempat berjualan makanan serba ada, bisa dalam bentuk penjualnya menjajakan keliling, dan atau kemudian lebih banyak menetap. Kelompok ini juga dikenal dengan sebutan tempat wedangan, minum-minum tanpa ada konotasi minuman keras, atau juga angkringan. Banyak juga yang menggunakan sebagian dari halaman rumahnya, atau menempati emperan toko. Jumlahnya bisa puluhan untuk satu jalan yang sama. Mereka menjadi komunitas tersendiri, dengan pelanggan tetap, dengan teman pelanggan, dengan keleluasaan waktu untuk ngobrol.

Ini memang lebih menekankan placement, penempatan, dibandingkan dengan makanan yang dijual. Karena dari satu hik dengan yang lain, satu wedangan dengan wedangan yang lain, satu tempat angkringan dengan yang lain, tak beda-beda amat. Suasana yang membedakan, dan keleluasaan untuk berbicara apa saja. Dari soal politik negara sampai dengan nasib tetangga, dari soal janda muda sampai janda siapa. Komunitas kecil, tapi jumlahnya banyaaaak sekali, menjadikan malam tak pernah sepi, menjadikan jam tidur malam hari ke titik terendah.Salah hatinya yang dikelola Jembuk-begitulah, masing-masing punya nama akrab panggilan dari Rachmat Wahono, di jalan Ronggowarsito. Dan Jembuk pun dengan enteng bisa berkomentar."Solo sudah menjadi kota mati." Yang dimaksudkan dulu banyak pengamen cokekan, atau pengamen keroncong, kini tak ada lagi. Menurut cerita, hiknya merupakan "pionir", karena berdiri 20 tahun lalu, dan masih sama, hingga kini.

Jembuk banyak berkenalan dengan tamu penting yang mampir di tempatnya,-termasuk para calon bupati atau walikota, atau siapa saja. Ia turut mendengarkan, turut berbicara dan merasa puas.

Di komunitas ini sebenarnya kita bisa mendengarkan keluhan yang paling menyakitkan - disuarakan dengan keras atau guyonan, adu pendapat tentang topik apa saja, dan bisa berakhir tanpa harus ada kesimpulan. Untuk disambung di malam berikutnya. Dengan orang-orang yang sama dan topik yang berbeda, atau sebaliknya, topik yang sama dengan orang yang berbeda. Keleluasaan inilah yang membuatnya bertahan karena suasana ini tak akan ditemui di pub, di cafe, di mal, di plaza, atau rumah makan sekali pun. secara keseluruhan bisa menjadi tumpahan uneg-uneg, baik masih gagasan atau harapan, atau keinginan. Yang datang bisa menjadi pembicara, bisa menjadi penyanggah, bisa menjadi moderator, bisa menjadi semuanya. Bisa juga menjadi pendengar. Dan selalu ada cerita di tempat semacam ini. Bersambung atau berdiri sendiri. Hik masih akan terus bertahan, dengan elusan dada atau kebanggan, selama orang masih memerlukan ruang untuk berbicara dengan leluasa.

Lha mangga... ngersakaken punapa...







diambil dari kitab solo

Aku Pernah Datang dan Aku sangat Penurut

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.08

mariposa




True Story !!! Yu Yuan Gadis Kecil Berhati Malaikat, yang berjuang hidup dari Leukimia Ganas. Setelah merasa tidak dapat disembuhkan lagi, ia rela melepaskan segala-galanya dan menyumbangkan untuk anak-anak lain yang masih punya harapan. Sungguh .. tak abis kata-kata untuk Yu Yuan. Terima kasih telah memberikan contoh mulia kepada kami…

Kisah ini tentang seorang gadis kecil yang cantik yang memiliki sepasang bola mata yang indah dan hati yang lugu polos. Dia adalah seorang yatim piatu dan hanya sempat hidup di dunia ini selama delapan tahun. Satu kalimat terakhir yang ia tinggalkan di batu nisannya adalah "saya pernah datang dan saya sangat penurut". Anak ini rela melepasakan pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana pengobatan sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari perkumpulan orang Chinese seluruh dunia. Dia membagi dana tersebut menjadi tujuh bagian, yang dibagikan kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Dan dia rela melepaskan pengobatannya.

Begitu lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Dia hanya memiliki seorang papa yang mengadopsinya. Papanya berumur 30 tahun yang bertempat tinggal di provinsi She Cuan kecamatan Suang Liu, kota Sang Xin Zhen Yun Ya Chun Er Cu. Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan pasangan hidupnya. Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin tidak ada lagi orang yang mau dilamar olehnya.

Pada tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10 imlek, adalah saat dimana papanya menemukan anak kecil tersebut diatas hamparan rumput, disanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang kedinginan. Pada saat menemukan anak ini, di dadanya terdapat selembar kartu kecil tertulis, 20 November jam 12.



Melihat anak kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah. Papanya berpikir kalau tidak ada orang yang memperhatikannya, maka kapan saja bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya memeluk bayi tersebut, dengan menghela nafas dan berkata, “saya makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya makan”. Kemudian, papanya memberikan dia nama Yu Yan.



Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang membesarkan seorang anak, tidak ada Asi dan juga tidak mampu membeli susu bubuk, hanya mampu memberi makan bayi tersebut dengan air tajin (air beras). Maka dari kecil anak ini tumbuh menjadi lemah dan sakit-sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan sangat patuh. Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan bertambah besar serta memiliki kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, walaupun dari kecil sering sakit-sakitan dan mereka sangat menyukai Yu Yuan. Ditengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan tumbuh dewasa.



Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar biasa, mulai dari umur lima tahun, dia sudah membantu papa mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju, memasak nasi dan memotong rumput. Setiap hal dia kerjakan dengan baik. Dia sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua, sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya mengandalkan dia dan papa yang saling menopang. Dia harus menjadi seorang anak yang penurut dan tidak boleh membuat papa menjadi sedih dan marah.



Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri sudah sangat mengerti, harus giat belajar dan menjadi juara di sekolah. Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak berpendidikan menjadi bangga di desanya. Dia tidak pernah mengecewakan papanya, dia pun bernyanyi untuk papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi di sekolahnya di ceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan mengeluarkan soal-soal yang susah untuk menguji papanya.



Setiap kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia. Walaupun tidak seperti anak-anak lain yang memiliki mama, tetapi bisa hidup bahagia dengan papa, ia sudah sangat berbahagia. Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada suatu pagi saat Yu Yuan sedang mencuci muka, ia menyadari bahwa air cuci mukanya sudah penuh dengan darah yang ternyata berasal dari hidungnya. Dengan berbagai cara tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut. Sehingga papanya membawa Yu Yuan ke puskesmas desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga mengeluarkan darah dan tidak mau berhenti. Dipahanya mulai bermunculan bintik-bintik merah. Dokter tersebut menyarankan papanya untuk membawa Yu Yuan ke rumah sakit untuk diperiksa.



Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan nomor karena antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri dikursi yang panjang untuk menutupi hidungnya. Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air yang terus mengalir dan memerahi lantai. Karena papanya merasa tidak enak kemudian mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar dari hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil tersebut sudah penuh berisi darah yang keluar dari hidung Yu Yuan.



Dokter yang melihat keadaaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal yang memerlukan biaya sebesar 300.000 $. Papanya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Papanya hanya memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara meminjam uang ke sanak saudara dan teman dan ternyata, uang yang terkumpul sangatlah sedikit. Papanya akhirnya mengambil keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli.



Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus. Dalam hati Yu Yuan merasa sedih. Pada suatu hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar. “Papa saya ingin mati”.



Papanya dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan, “Kamu baru berumur 8 tahun kenapa mau mati”. “Saya adalah anak yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak berharga, tidaklah cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah sakit ini.”



Pada tanggal 18 juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal huruf, menandatangani surat keterangan pelepasan perawatan. Anak yang berumur delapan tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakamannya sendiri.



Hari itu juga setelah pulang kerumah, Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah memiliki permintaan, hari itu meminta dua permohonan kepada papanya. Dia ingin memakai baju baru dan berfoto. Yu Yuan berkata kepada papanya: “Setelah saya tidak ada, kalau papa merindukan saya lihatlah melihat foto ini”. Hari kedua, papanya menyuruh bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah yang memilih baju yang dibelinya. Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih dengan corak bintik-bintik merah. Begitu mencoba dan tidak rela melepaskannya. Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto. Yu Yuan kemudia memakai baju barunya dengan pose secantik mungkin berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia berusaha tersenyum, pada akhirnya juga tidak bisa menahan air matanya yang mengalir keluar. Kalau bukan karena seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti selembar daun yang lepas dari pohon dan hilang ditiup angin.



Setelah mengetahui keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian menuliskan sebuah laporan, menceritakan kisah Yu Yuan secara detail. Cerita tentang anak yg berumur 8 tahun mengatur pemakamannya sendiri dan akhirnya menyebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satu negara bahkan sampai ke seluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk menggalang dana bagi anak ini. Dunia yang damai ini menjadi suara panggilan yang sangat kuat bagi setiap orang.



Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah mengumpulkan 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang.



Setelah itu, pengumuman penggalangan dana dihentikan, tetapi dana terus mengalir dari seluruh dunia. Dana pun telah tersedia dan para dokter sudah ada untuk mengobati Yu Yuan. Satu demi satu gerbang kesulitan pengobatan juga telah dilewati. Semua orang menunggu hari suksesnya Yu Yuan. Ada seorang teman di-email bahkan menulis: “Yu Yuan anakku yang tercinta saya mengharapkan kesembuhanmu dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan sehat. Yu Yuan anakku tercinta.”





Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan yang telah melepaskan pengobatan dan menunggu kematian akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan dan dia sangat menderita didalam sebuah pintu kaca tempat dia berobat. Yu Yuan kemudian berbaring di ranjang untuk diinfus. Ketegaran anak kecil ini membuat semua orang kagum padanya. Dokter yang menangani dia, Shii Min berkata, dalam perjalanan proses terapi akan mendatangkan mual yang sangat hebat. Pada permulaan terapi Yu Yuan sering sekali muntah. Tetapi Yu Yuan tidak pernah mengeluh. Pada saat pertama kali melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang, jarum suntik ditusukkan dari depan dadanya, tetapi Yu Yuan tidak menangis dan juga tidak berteriak, bahkan tidak meneteskan air mata. Yu yuan yang dari dari lahir sampai maut menjemput tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu. Pada saat dokter Shii Min menawarkan Yu Yuan untuk menjadi anak perempuannya. Air mata Yu Yuan pun mengalir tak terbendung.



Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu memanggil dengan sebutan Shii Mama. Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min kaget, dan kemudian dengan tersenyum dan menjawab, “Anak yang baik”. Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan dan banyak orang menanyakan kabar Yu Yuan dari email. Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi dan telah berjuang menerobos sembilan pintu maut. Pernah mengalami pendarahan dipencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah putih dari tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang pun menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.



Tetapi efek samping yang dikeluarkan oleh obat-obat terapi sangatlah menakutkan, apalagi dibandingkan dengan anak-anak leukemia yang lain. Fisik Yu Yuan jauh sangat lemah. Setelah melewati operasi tersebut fisik Yu Yuan semakin lemah.



Pada tanggal 20 agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan: “Tante kenapa mereka mau menyumbang dana untuk saya? Tanya Yu Yuan kepada wartawan tersebut. Wartawan tersebut menjawab, karena mereka semua adalah orang yang baik hati”. Yu Yuan kemudia berkata : “Tante saya juga mau menjadi orang yang baik hati”. Wartawan itupun menjawab, “Kamu memang orang yang baik. Orang baik harus saling membantu agar bisa berubah menjadi semakin baik”. Yu yuan dari bawah bantal tidurnya mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada ke Fu Yuan. “Tante ini adalah surat wasiat saya.”



Fu yuan kaget, sekali membuka dan melihat surat tersebut ternyata Yu Yuan telah mengatur tentang pengaturan pemakamannya sendiri. Ini adalah seorang anak yang berumur delapan tahun yang sedang menghadapi sebuah kematian dan diatas ranjang menulis tiga halaman surat wasiat dan dibagi menjadi enam bagian, dengan pembukaan, tante Fu Yuan, dan diakhiri dengan selamat tinggal tante Fu Yuan.



Dalam satu artikel itu nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih ada sembilan sebutan singkat tante wartawan. Dibelakang ada enam belas sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Tolong,……. Dan dia juga ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada orang- orang yang selama ini telah memperhatikan dia lewat surat kabar. “Sampai jumpa tante, kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakan ini juga pada pemimpin palang merah. Setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit seperti saya. Biar mereka lekas sembuh”. Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya.



Saya pernah datang, saya sangat patuh, demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir Yu Yuan. Pada tanggal 22 agustus, karena pendarahan dipencernaan hampir satu bulan, Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Mula mulanya berusaha mencuri makan, Yu Yuan mengambil mie instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan di pencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat pun secepatnya memberikan pertolongan darurat dan memberi infus dan transfer darah setelah melihat pendarahan Yu Yuan yang sangat hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis.



Semua orang ingin membantu meringankan pederitaannya. Tetapi tetap tidak bisa membantunya. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit tersebut akhirnya meninggal dengan tenang. Semua orang tidak bisa menerima kenyataan ini melihat malaikat kecil yang cantik yang suci bagaikan air. Sungguh telah pergi kedunia lain.



Dikecamatan She Chuan, sebuah email pun dipenuhi tangisan menghantar kepergian Yu Yuan. Banyak yang mengirimkan ucapan turut berduka cita dengan karangan bunga yang ditumpuk setinggi gunung. Ada seorang pemuda berkata dengan pelan “Anak kecil, kamu sebenarnya adalah malaikat kecil diatas langit, kepakanlah kedua sayapmu. Terbanglah……………” demikian kata-kata dari seorang pemuda tersebut.



Pada tanggal 26 Agustus, pemakaman Yu Yuan dilaksanakan saat hujan gerimis. Didepan rumah duka, banyak orang-orang berdiri dan menangis mengantar kepergian Yu Yuan. Mereka adalah papa-mama Yu Yuan yang tidak dikenal oleh Yu Yuan semasa hidupnya. Demi Yu Yuan yang menderita karena leukemia dan melepaskan pengobatan demi orang lain, maka datanglah papa mama dari berbagai daerah yang diam-diam mengantarkan kepergian Yu Yuan.



Di depan kuburannya terdapat selembar foto Yu Yuan yang sedang tertawa. Diatas batu nisannya tertulis, “Aku pernah datang dan aku sangat patuh” (30 nov 1996- 22 agus 2005). Dan dibelakangnya terukir perjalanan singkat riwayat hidup Yu Yuan. Dua kalimat terakhir adalah disaat dia masih hidup telah menerima kehangatan dari dunia. Beristirahatlah gadis kecilku, nirwana akan menjadi lebih ceria dengan adanya dirimu.



Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu Yuan itu adalah : Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu, Zhang Yu Jie, Gao Jian, Wang Jie. Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.



Pada tanggal 24 September, anak pertama yang menerima bantuan dari Yu Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil melakukan operasi. Senyuman yang mengambang pun terlukis diraut wajah anak tersebut. “Saya telah menerima bantuan dari kehidupan Anda, terima kasih adik Yu Yuan, kamu pasti sedang melihat kami diatas sana. Jangan risau, kelak di batu nisan, kami juga akan mengukirnya dengan kata-kata “Aku pernah datang dan aku sangat patuh”.



Kesimpulan:



Demikianlah sebuah kisah yang sangat menggugah hati kita. Seorang anak kecil yang berjuang bertahan hidup dan akhirnya harus menghadapi kematian akibat sakit yang dideritanya. Dengan kepolosan dan ketulusan serta baktinya kepada orang tuanya, akhirnya mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan Dunia.


Walaupun hidup serba kekurangan, Dia bisa memberikan kasihnya terhadap sesama. Inilah contoh yang seharusnya kita pun mampu melakukan hal yang sama, berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama, memberikan sedikit kehangatan dan perhatian kepada orang yang membutuhkan. Pribadi dan hati seperti inilah yang dinamakan pribadi seorang Pengasih.

being an idiots

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.08



Things that frighten me? You ask me because I'm an idiots, isn't it? well, there are the things which the idiots has to fear. An idiots is afraid that he's being made fun of his childhood, of his dream, of the things to which he holds dear. And finally, that he's being lied to. Me doesn't like being lied to.

An idiots always submitted to the fear, because he's honest with himself. An idiots are also human that submit to their desires. When they're hungry, they eat. When they want to read, they take a book. When they cry, they look for comfort.

I'm the type of idiots who with all these desires and these fears. And I'm proud of being an idiots.

what's going on with children's song?

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.02

seluruhnya copas from : http://lookism.wordpress.com/


anak gembala


Di bawah sinar matahari pagi, wajah berseri-seri
Kita semua tiap hari mandi, di sungai jernih murni
Lihatlah lihat embun pagi hari, menghias bunga melati
Menari-nari, bersinar berseri membawa salam pagi

A very old song from my very old memory (thank God masih bisa ingat ini) yang sampai sekarang masih menempel somewhere on my brain cells. I used to sing it together with my mom, or when my elementary teacher told us to sing individually in front of the class.

Lagu yang sangat sederhana, by Ibu Kasur perhaps, I am not sure. Tipikal lagu anak-anak jaman dulu yang memang tidak akan memusingkan si anak dengan line-line yang rumit dan gak bakal mereka mengerti.

Mungkin gak perlu kembali mundur sejauh era Ibu Kasur, tapi lagu anak-anak setelah masa itu juga masih cukup enak dan pantas didengar. Semacam Melisa’s Abang Tukang Bakso, Giovani’s Ayo Menabung, atau Si Komo Lewat by Kak Seto. And then, what happened? Silence. Another silence. A long period of silence. Of course, there was Sherina. But that’s just it.

Dan, bertahun-tahun setelah itu??? BOOM!!! Everybody seems to be amazed by the the so-called reality-show-in-search-of-new-stars. You name it, AFI, KDI, Indonesian Idol, and a whole lot more. The worst thing is, they all have their own junior version. Nah, disinilah semuanya terasa begitu menyakitkan (dramatisir dikit gak papalah).

Gimana gak menyakitkan, saat melihat seorang anak berumur kira-kira 7-8 tahun menyanyikan lagu-lagu Peter Pan, D’Massiv, Kerispatih, and others. Kata-kata macam, “Cinta kita”, “Bersamamu”, “Jangan tinggalkan aku”, bertebaran dimana-mana. What the…???

Siapa yang harus disalahkan? Mereka diharuskan menyanyi setiap minggu, dengan lagu berbeda. Pilihan apa lagi yang mereka punya? And to be honest, singing “Balonku ada lime” even in R&B version won’t get them those sms they need to win the competition. I just wish we have more children song writer, and the industry can have the strong will to support it. But again, no sms = no money for the industry. And then we can have another equation. Oh well…

Senin, 04 Oktober 2010

reason

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 23.04

oke sekarang dari mana saya akan bercerita......

when you're being a medical student, what are you actually looking for? I don't know how to answer it but I'm sure that I get the answer. Since my childhood, and getting stronger when I see "one liter of tears", being a doctor was my purpose of my life.

I had a lot of reasons why I have to be a great doctor. In this world, there's so many people like Aya or Yu. and of course their life must be very poor. I want to hold them, tightly. Giving my best to reduce their burden. Giving my smile and saying "Everything's gonna be okay, you have nothing to worry". And of course I'll shoot "I don't need your money" to their parent.

dreams and hopes, yes I would like to be a man who can bring them.

i dont know how to titled

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 19.03

I don't know how to write my feeling down
When seeing your back was really painful
Me stuck here, without any courage to move forward
Me feel ashamed for my own self
the time feels so lonely
everything that happens here,
the future still seems so dark
I wanna go to bed happily
by imagining what wonderful day tomorrow is

But when remembering about my dreams,
about me, Yu, Miu, Mayu, and you guys,
this little courage appears
and I can continue walking at the way I choose,
but I haven't given up yet, mate
Me, still, wanna go there with you guys

So I'm not afraid anymore
there's no need to frighten
everything's gonna be okay
Enjoying my self more here,
Wishing to be the great person
And Still trying to get there with you guys

so please pray for me.....

Selasa, 29 Juni 2010

(Sejarah) Karaton Surakarta Hadiningrat dan Asal Nama Kota Solo

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 06.46



Karaton Surakarta adalah sebuah warisan budaya Jawa. Wujudnya berupa fisik bangunan Karaton, benda artefak, seni budaya, dan adat tata cara Karaton. Keberadaannya yang sekarang ini adalah hasil dari proses perjalanan yang panjang, dan merupakan terminal akhir dari perjalanan budaya Karaton Surakarta.

Usaha memahami keadaannya yang sekarang tidak bisa lepas dari usaha mempelajari asal usul dan keberadaanya di masa lampau. Sebab sepenggal cerita dan deskripsi sejarah suatu peristiwa kurang memberi makna yang berarti, jikalau tidak dikaitkan dengan proses dan peristiwa yang lain. Oleh karena itu peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam satu alur yang sama akan memberikan pemahaman yang menyeluruh dan utuh dari situasi yang sama saat ini.

Dalam kajian sejarah Karaton Surakarta akan ditelusuri dan dideskripsikan latar belakang dan proses menemukan lokasi Karaton, pemindahannya, pembangunannya serta perkembangannya baik dari segi fisik bangunan maupun segi nonfisik. Deskripsi historis berdasarkan sumber informan, dokumen-dokumen karya sastra dan sebagainya diharapkan memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang Karaton Surakarta.
Dari pengetahuan ini orang/masyarakat akan tumbuh kesadaran akan warisan budaya tersebut dan memiliki persepsi tertentu terhadap obyek tersebut.
Persepsi awal yang dapat dibentuk dari hasil kajian sejarah Karaton Surakarta ini pada gilirannya bisa menimbulkan daya tarik, memotivasi orang/warga masyarakat baik Nusantara maupun mancanegara untuk mengetahui lebih lanjut dan mendalam tentang segi-segi dari warisan budaya Karaton Surakarta tersebut.

A. Pengertian Karaton

Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai pengertian Karaton. Menurut KRHT Wirodiningrat (Kantor Sasono Wilopo), ada tujuh pengertian (saptawedha) yang tercakup dalam istilah Karaton. Pertama, Karaton (Karaton) berarti kerajaan. Kedua, Karaton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua aspek: kenegaraan (Staatsrechtelijk) dan magischreligieus. Ketiga, Karaton berarti penjelmaan “Wahyu nurbuwat” dan oleh karena itu menjadi pepunden dalam Kajawen. Keempat, Karaton berarti istana, kedaton “Dhatulaya” (rumah). Kelima, bentuk bangunan Karaton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. Keenam, Karaton sebagai Cultuur historische instelling (lembaga sejarah kebudayaan) menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. Ketujuh, Karaton sebagai Badan (juridische instellingen), artinya Karaton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah kekuasaan (bezittingen) sebagai sebuah dinasti.

B. Proses Penemuan Lokasi Karaton

Baik dalam Babad Tanah Jawi (1941), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun dalam Babad Giyanti (1916, I), kisah perpindahan Karaton dari Kartasura ke Surakarta hampir sama deskripsinya. Secara ringkas kisahnya sebagai berikut.

Ketika Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) kembali dari Ponorogo (1742), baginda menyaksikan kehancuran bangunan istana. Hampir seluruh bangunan rusak berat, bahkan banyak yang rata dengan tanah akibat ulah para pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk membangun sebuah istana yang baru, sebab istana Kartasura sudah tidak layak lagi sebagai tempat raja dan pusat kerajaan.
Niat ini kemudian disampaikan kepada para punggawa kerajaan. Patih R. Ad. Pringgalaya dan beberapa bangsawan diajak berembug tentang rencana pembangunan istana baru tersebut. Raja berkehendak membangun istana baru di tempat yang baru. Raja menghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat dengan Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjahui pengaruh para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran istana Kartasura.

Setelah diadakan pembicaraan seperlunya tentang rencana Sunan tersebut, akhirnya Sunan mengutus utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan istana baru. Para utusan tersebut diberi wewenang dan kekeuasaan untuk bersama-sama mencari dan memilih tempat yang cocok untuk istana batu, baik sacara lahiriah maupun batiniah.

Utusan itu terdiri dari Mayor Hohendorp, Adipati Pringgalaya, dan Adipati Sindurejo (masing-masing sebagai Patih Jawi’Patih Luar’ dan Patih Lebet ‘Patih Dalam’), serta beberapa orang bupati. Utusan itu diikuti oleh Abdi Dalem ahli nujum, Kyai T. Hanggawangsa, RT Mangkuyuda, dan RT Puspanegara. Setelah berjalan lama, mereka mendapatkan tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun istana. Ketiga tempat itu adalah:

1. Desa kadipala; daerahnya datar, kering, akan tetapi para ahli nujum tidak menyetujui, sebab walaupun kelak kerajaan Jawa tumbuh menjadi kerajaan yang besar, berwibawa dan adil makmur, namun akan cepat rusak dan akhirnya runtuh. Sebagai tanda, maka ditempat itu dibangun sebuah panggung (Kopel). Sekarang panggung itu dikelilingi oleh bangunan dan gudang kayu jati milik seorang Cina, Jap Kam Mlok (Tikno Pranoto, tth: 27). Letaknya di depan bekas Rumah Sakit Kadipala, di sebelah utara jalan Dr. Rajiman.

2. Desa Sala; atas pilihan RT. Hanggawangsa dan disetujui oleh semua utusan kecuali Mayor Hohendorp. Alasannya, tanahnya sangat rusak, terlalu dekat dengan Bengawan Sla, dan daerahnya penuh dengan rawa-rawa yang dalam.

3. Desa Sana Sewu; terhadap tempat ini RT. Hanggawangsa tidak menyetujuinya, karena menurut ‘jangka’, akan mengakibatkan perang saudara dan penduduk Jawa akan kembali memeluk agama Hindu dan Budha (tiyang Jawi badhe wangsul Budha malih) (Panitia Hari Jadi, 1973:81;Pawarti Surakarta, 1939:9-10).

Setelah diadakan permusyawaratan, para utusan akhirnya memilih desa Sala sebagai calon tunggal untuk tempat pembangunan istana baru, dan keputusan ini kemudian disampaikan kepada Sunan di Kartasura. Setelah Sunan menerima laporan dari para utusan tersebut, kemudian memerintahkan beberapa orang Abdi Dalem untuk meninjau dan memastikan tempat itu.

Utusan itu ialah Panembahan Wijil, Abdi Dalem Suranata, Kyai Ageng Khalifah Buyut, Mas Pangulu Fakih Ibrahim, dan Pujangga istana RT. Tirtawiguna (Tus Pajang, 1940:19-21). Sesampainya di desa Sala, utusan tersebut menemukan suatu tempat yang tanahnya berbau harum, maka disebut desa Talangwangi (tala = tanah; wangi = harum), terletak di sebelah barat laut desa Sala (sekarang menjadi kampung Gremet).

Setelah tempat tersebut diukur untuk calon lokasi istana, ternyata kurang luas, maka selanjutnya para utusan melakukan “samadhi” (bertapa) untuk memperoleh ilham (“wisik”) tentang cocok atau tidaknya tempat tersebut dijadikan pusat istana. Mereka kemudian bertapa di Kedhung Kol (termasuk kampung Yasadipuran sekarang).

Setelah beberapa hari bertapa, mereka memperoleh ilham bahwa desa Sala sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi pusat kerajaan baru yang besar dan bertahan lama (Praja agung kang langgeng). Ilham tersebut selanjutnya memberitahukan agar para utusan menemukan Kyai Gede Sala (sesepuh desa Sala).

Orang itulah yang mengetahui ‘sejarah’ dan cikal bakal desa Sala . Perlu diketahui, bahwa nama Kyai Gede Sala berbeda dengan Bekel Ki Gede Sala, seorang bekel yang menepalai desa Sala pada jman Pajang. Sedang Kyai Gede Sala adalah orang yang mengepalai desa Sala pada jaman kerajaan Mataram Kartasura (Pawarti Surakarta, 1939:6-7).

Selanjutnya Kyai Gede Sala menceritakan tentang desa Sala sebagai berikut. Ketika jaman Pajang, salah seorang putera Tumenggung Mayang, Abdi Dalem kerajaan Pajang, bernama Raden Pabelan, dibunuh di dalam istana, sebaba ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, puteri Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (Atmodarminto, 1955:83;Almanak Cahya Mataram, 1921:53;Dirjosubrata, 1928: 75-76).

Selanjutnya mayat raden Pabelan dihanyutkan (“dilarung”) di sungai Lawiyan (sungai Braja), hanyut dan akhirnya terdampar di pinggir sungai dekat desa Sala. Bekel Kyai Sala yang saat itu sebagai penguasa desa Sala, pagi hari ketika ia pergi kesungai melihat mayat. Kemudian mayat itu didorong ke tengah sungai agar hanyut. Memang benar, mayat itu hanyut dibawa arus air sungai Braja.

Pagi berikutnya, kyai Gede Sala sangat heran karena kembali menemukan mayat tersebut sudah di tempatnya semula. Sekali lagi mayat itu dihanyutkan ke sungai. Namun anehnya, pagi berikutnya peristiwa sebelumnya berulang lagi. Mayat itu kembali ke tempat semula, sehingga Kyai Gede Sala menjadi sangat heran.

Akhirnya ia “maneges”, minta petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa atas peristiwa itu. Setelah tiga hari tiga malam bertapa, Kyai Gede Sala mendapat ilham atau petunjuk. Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah.

Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang menjadi mayat itu dan mohon dengan hormat kepada Kyai Gede Sala agar dia dikuburkan di situ. Namun sayang, sebelum sempat menanyakan tempat asal dan namanya,pemuda itu telah raib/menghilang.

Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti permintaan pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena namanya tidak diketahui, maka mayat itu desebut Kyai Bathang (bathang = mayat). Sedangkan tempat makamnya disebut Bathangan (makam itu sekarang berada di kawasan Beteng Plaza, Kelurahan Kedung Lumbu). Dengan adanya Kyai Bathang itu, desa Sala semakin raharja (Sala = raharja_, kehidupan rakyatnya serba kecukupan dan tenang tenteram (Roorda, 1901:861).


Demikian cerita singkat Kyai Gede Sala. Kuburan itu terletak di tepi rawa yang dalam dan lebar. Keadaan ini kemudian oleh para utusan dilapokan kepada Sunan di Kartasura.

Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera memerintahkan kepada Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura (I), serta RT. Padmagara, untuk mengupayakan agar desa Sala dapat dibangun istana baru. Ketiga utusan tersebut kemudian pergi ke desa Sala.

Sesampainya di desa Sala, mereka berjalan mengelilingi rawa-rawa yang ada disekeliling desa Sala. Akhirnya mereka dapat menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air).

Hal itu dilaporkan kepada Sunan, dan kemudian Sunan memutuskan bahwa desa Sala-lah yang akan dijadikan pusat istana baru. Sunan segera memerintahkan agar pembangunan istana segera dimulai. Atas perintah Sunan, seluruh Abdi Dalem dan Sentana dalem membagi tugas: Abdi Dalem mancanegara Wetan dan Kilen dimintai balok-balok kayu, jumlahnya tergantung pada luas wilayahnya. Balok-balok kayu tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rawa di desa Sala sampai penuh.
Meskipun demikian belum dapat menyumbat mata air rawa tersebut, bahkan airnya semakin deras.

Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos pinten-pinten ewu, meksa mboten saget pampet, malah toya saya ageng ambalaber pindha samodra.(Tus Pajang, 1940:24-25).
(Walaupun diberi batu ataupun balok-balik kayu yang besar-besar sampai beribu-ribu banyaknya, terpaksa tidak dapat tertutup, bahkan keluarnya air semakin besar dan menyeruap bagaikan samodra).
Bahkan lebih mengherankan lagi, dari sumber air tersebut keluar berbagai jenis ikan yang biasa hidup di air laut (teri pethek, dsb).

Menyaksikan kejadian itu, Panembahan Wijil dan Kyai Yasadipura bertapa selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan tidur. Akhirnya pada malam hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) Kyai Yasadipura mendapatkan ilham sebagai berikut:

He kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase (Pawarti Surakarta, 1939:7).
(Hai, kalian yang bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat ditutup, sebab menjadi tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian ingin menyumbatnya gunakan cara: gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala ronggeng, cendol mata orang, disitulah pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi besok kenghung itu tidak akan mengalir, tetapi juga tidak berhenti mengeluarkan air, kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya).

Penerimaan ilham tersebut terjadi pada hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) tanggal 28 Sapar, Jimawal 1669 (1743 Masehi) (Yasadipura II, 1916: 17-18).

Segala kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Sunan di Kartasura. Sunan sangat kagum mendengar laporan tersebut dan setelah berpikir keras akhirnya Sunan bersabda:

Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene Gong Sekar Dlima tegese gangsa, lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong Sekar Delima, dadi sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni iku Kyai Gede Sala. Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah tledhek arta kehe saleksa ringgit (cendhol mata uwonng), mangka liruning kang dadi wulu wetuning desa tekan ing sarawa-rawa pisan (Pawarti Surakarta, 1939:8).
“Tledhek” berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti “gangsa”, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal (desa) yaitu Kyai Gede Sala. Atas pertimbangan itu sepantasnya menerima ganti uang sebanyak sepuluh ribu ringgit. Sebagai ganti rugi penghasilan desa beserta rawa-rawanya.

Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar sepuluh ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala bertapa di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala memperoleh “Sekar Delima Seta” (putih) dan daun lumbu (sejenis daun talas). Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam sumber mata air (Tirta Amerta Kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bhakti (gugur gunung) menutup rawa.

Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya dipindahkan dan dimukimkan kembali di tempat lain (“wong cilik ing desa Sala kinen ngalih marang ing desa Iyan sami”). Kemudian pembangunan dimulai dengan menguruk tanah yang tidak rata dan dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan lebarnya (“ingkur amba dawane”). Puluhan ribu (leksan) buruh bekerja di proyek pembangunan itu. Dinding-dinding pertama dibangun dari bambu karena waktunya mendesak. Adapun desain umumnya mencontoh model Karaton Kartasura (“anelad Kartasura”) (Lombard, III: 109).

Mengapa pilihan jatuh di desa Sala, ada beberapa alasan yang dapat diajukan, baik dilihat secara wadhag atau fisik-geografis maupun alasan magis-religius. Desa Sala letaknya dekat dengan Bengawan Sala, yang sejak lama mempunyai arti penting dalam hubungan sosial, ekonomi, politik, dan militer antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sebuah sumber menyebutkan, Bengawan Sala atau atau Bengawan Semanggi mempunyai 44 bandar (Fery Charter abad ke-14), salah satunya bernama Wulayu atau Wuluyu atau sama dengan desa Semanggi (bandar ke-44). Dalam Serat Wicara Keras disebutkan, Bengawan Sala sebagai Bengawannya orang Semanggi (bandingkan dengan Babad Tanah Jawi).

Alasan lainnya, di desa Sala cukup tenaga kerja untuk membuat Karaton karena dikelilingi oleh desa Semanggi, Baturana, dan Babudan (dua desa yang terakhir merupakan tempat Abdi Dalem pembuat babud permadani pada jaman Kartasura). Desa Sala sendiri zaman Padjang dibawah bekel Kyai Sala. Alasan politis juga dapat dimasukkan, terutama dalam menjaga kepentingan VOC. Untuk mengawasi Mataram maka VOC membangun benteng di pusat kota Mataram yang mudah dijangkau dari Semarang sebagai pintu gerbang ke pedalaman.

Sementara itu terdapat sejumlah alasan magis-religius seperti berikut ini. Pertama, desa Sala terletak di dekat tempuran, yaitu bertemunya Sungai Pepe dan Bengawan Sala. Tempuran merupakan tempat magis dan sakral. Dismping itu, kata Sala atau Qala dihubungkan dengan bangunan suci. Kata itu berarti ruangan atau bangsal besar dan telah disebut-sebut dalam OJO no. XLIII (920) dengan istilah Kahyunan. Di Qala tedapat sekolah Prahunan (sekarang kampung praon) di dekat muara Sungai Pepe, yang artinya bangunan suci di Hemad (I Hemad atau Ing Hemad, Ing Gemad = Gremet). “Ning peken ri hemad”, artinya di pasar ngGremet, tempat dilakukan upacara penyumpahan mendirikan tempat swatantra perdikan di Sala.

Pembangunan Karaton segera dimulai setelah rawa-rawa berhasil dikeringkan dan tempatnya dibersihkan. Untuk mengurug Karaton, tanahnya diambil dari desa Talawangi. (dalam sebuah sumber lain disebutkan, “hawit iku pada kalebu hing jangka, sak mangsa-mangsa ndandani Kadaton bakal njupuk hurug lemah Kadipala (Tetedakan sangking Buk Ha: Ga, Sana Pustaka).
Jadi tanah Talawangi dan tanah Sala kedua-duanya dipakai untuk pembangunan Karaton. Karaton telah berdiri meskipun belum dipagari batu dan baru dari bambu (jaro bethek). Sirnaning Resi Rasa Tunggal (1670) menandai saat pengerjaan Karaton selesai, meskipun nampak tergesa-gesa.

Kata Surakarta sendiri lebih dicari akarnya pada kata atau kerajaan sebelumnya, Kartasura dan Kerta. Kartasura (Jaman Amangkurat II) dulu bernama Wanakerta = berani berperang. Sedangkan Kerta atau Karta = tenteram, pusat Mataram jaman kejayaannya. Jadi keturunan Mataram mengharapkan kejayaan dan ketentraman kembali Mataram seperti ketika beribukota di Karta.

Ada pendapat lain yang mengatakan, kata Sala berasal dari desa ala, artinya desa yang jelek. Dan, Karta Sura artinya bukan Karta dan Sura, karena fakta membuktikan bahwa Kartasura tidak banyak membawa kegahagiaan. Sedangkan kata Surakarta sering kali juga dihubungkan dengan Batavia atau Jayakarta. Orang Jawa Barat menyebut bandar ini dengan nama Surakarta. Untuk menghormati Kompeni, maka Sunan menamakan Karatonnya yang baru dengan Surakarta (Hadiningrat).

Setelah tanah diratakan, Sunan memerintahkan agar dilakukan pengukuran calon istana (kutha). Petugasnya adalah : Mayor Hohendrop, Patih R. Ad. Pringgalaya, Kyai T. Puspanagara, Kyai T. Hanggawangsa, Kyai T. Mangkuyuda, dan Kyai T. Tirtawiguna. Petugas pengukur calon istana ialah Panembahan Wijil dan Kyai Khalifah Buyut. Pengukur “adu manis”-nya istana ialah Kyai Yasadipura dan Kyai Tohjaya.

Untuk mempertinggi pusat istana, maka mengambil tanah dari Talawangi, Kadipala dan Sanasewu. Para tukang (abdi dalem Kalang) diperintahkan dan dikerahkan untuk membangun istana. Lurah Undhagi (tukang kayu) dipimpin oleh Kyai Prabasena dibantu oleh Kyai Karyasana, Kyai Rajegpura, Kyai Sri Kuning, ditambah tenaga dari mancanegara. Sebagai penanggungjawab adalah R. Ad. Pringgalaya dengan dibantu para Bupati Jawi dan Lebet.
Permulaan pembangunan itu ditandai dengan sengkalan “Jalma Sapta Amayang Buwana = 1670 Jawa (1744 M)


C. Prosesi Pemindahan Karaton dari Kartasura ke Surakarta

Pada suatu ketika RT. Tirtawiguna di tanya oleh Sunan tentang persyaratan perpindahan pusat istana, maka RT. Tirtawiguna memberi penjelasan sebagai berikut (Adeging Karaton tth:13):
1. Ketika Raja Parasara memindahkan kerajaannya ke Hastinapura, persajian yang diadakan adalah pala kirna, pala kesimpar, pala gumantung, pala kependhem, pala andheng atau bunga-bungaan yang harum baunya ditaruh ditengah istana. Para pendeta berdoa sehari semalam. Barulah perpindahan dilakukan.
2. Prabu Aji Pamosa dari Kediri memindahkan pust Kerajaan dari Kediri ke Witaradya. Persajian sama dengan Prabu Yudayaka (Parasara) di Hastina, dengan ditambah “tumpeng rajegan” (tumpeng seribu buah) diberi daging binatang berkaki empat, ikan darat, ikan kali, daging jenis unggas, “jajan pasar”.
3. Prabu Dewata Cengkar di Medang Kamulang, pindah ke Medang Kamulan Timur. Persajian sama seperti Prabu Aji Pamosa dengan ditambah “gecok mentah” dipasang di setiap sudut istana dan setiap perempatan besar dan kecil.
4. Pabu Banjaran Sari di Kerajaan Pajajaran pindah ke Galuh. Persajian sama dengan yang dilakukan oleh Prabu Dewata Cengkar dengan ditambah Raja dan Ratu berpakaian “Wligasan” (pakaian penganten), menghias jalan-jalan, para abdi dalem “Sarimbit” dengan pakaian “Kepangeranan penganten” (pakaian penganten sesudah upacara kirab “Kanarendran”)

Segala kegiatan perpindahan tersebut seluruhnya selalu diakhiri dengan “bujana handrawina” (peta atau resepsi). Sunan menerima persajian seluruhnya dan ditambah dengan “bumbu-bumbu masak atau racikan atau rerajungan”. Selanjutnya diatas rencana perpindahan tersebut lebih dahulu barang-barang yang dipindahkan adalah:
1. beras dan padi
2. perlengkapan dapur dengan segala macam bumbu masak
3. sato iwen (ayam, itik, dan sejenisnya)
4. raja kaya (hewan ternak berkaki empat)
5. perlengkapan-perlengkapan lain

Sedang jenis “sajen” yang diadakan ialah: gecok kelapa, bekakak ikan, bumbu sekapur peyon atau robyongan: bunga sirih lengkap, rokok boreh. Jenis tumpeng: megana, urubing damar, tatrah, rabah, rerajungan, rukini, kelut, litut, gicing.

Disamping masih ada sayuran, ikan, daging dan segala macam jenang : jenang abang, putih, selaka, mangkur, kiringan, ngongrong, dodol, a lot, bakmi, bandeng, lemu kaleh, kalong, jada, wajik, pudhak pondhoh, ketan manca warna atau pala kirna, pala gumantung, pala kesimpar, pala kependhem, dan pala andheng.

Kemudian berbagai macam telur, ayam, itik, burung, ikan dan sebagainya.
Berbagai macam benang, kain batik, selendang, kain kerik dan masih banyak lagi jenis sajian lainnya. ( Pawarti Surakarta, 1939 : 10-11) Kemudian tiga jenis emas, perak, binatang hidup.

Setelah semua persiapan dirasa cukup lengkap, maka pada hari yang telah ditetapkan, Sunan beserta segenap Keluarga kaum kerabat pindah tempat dari Kartasura ke desa Sala.

Mayor Hogendorp beserta pasukannya berapa di depan sejumlah lima kompi. Perpindahan itu dilakukan pada hari Rabu Pahing, 17 Sura, Sesengkalan “ Kambuling Puja Asyarsa ing Ratu “ ( 1670 Jawa = 1745 M atau 17 Februari 1745 ). Dalam Serat Kedhaton, disebutkan :


Sigra jengkar saking Kartawani
Ngalih kadhaton mring dhusun sala
Kebut sawadya balane
Busekan sapraja gung
Pinengetan hangkate huni
Hanuju hari Buda henjing wancinipun
Wimbaning lek ping Sapta Wlas
Sura He je kombuling Pudya Kapyarsi
Hing Nata kang sangkala


Segera berangkat dari Kartasura
Pindah karaton di dusun sala
Semua bala prajurit
Sibuk seluruh praja
Diperingati berangkatnya dulu
Bertepatan hari Rabu pagi,
Tanggal 17
Sura je Kombuling Puja kapyarsa
Ing Ratu sengkalinya ==>> ndak tau artinya..


Raja dan Ratu tampil di singgana ( sithinggil ) diiring semua penari perempuan ( Bedhaya Serimpi ) dan para pengikut. Mereka disambut serentak oleh tembakan meriam, bunyi gamelan dan tiupan terompet. Lalu mereka mulai berjalan dan sang pujangga mendiskripsikan dengan teliti urut-urutan panjang itu, yang secara simbolis berarti “ mengankut Karaton sampai ke desa Sala “ ( ngalih kadhaton mring dhusun Sala ). Susunan barisan berikut ( Pawarti Surakarta 1939 : 16 – 21 ; Yasadipura II, 1916, 1 : 20 -21 )

1. Waringin kurung sakembaran ( dua batang pohon beringin ) diberi kain cinde diapit oleh Abdi Dalem dari desa-desa.
2. Bangsal Pangwarit diiringi oleh Abdi Dalem Prajurit Kalang, Gowong, Undhagi, Selakerti.
3. Gajah kenaikan Sunan, diapit oleh Abdi Dalem Srati.
4. Kuda kenaikan Sunan diiringi oleh Abdi Dalem Gamel.
5. Para Abdi Dalem Bupati Nayaka Jawi Kiwo dan Tengen: Panumping, Panekar, Sewu Numbak Anyar, Siti Ageng Kiwo Tengen, Bumi, Bumija, diiringi oleh Abdi Dalem Kliwon, Panewu, Mantri, naik kuda dengan berpayung.
6. Abdi Dalem Bupati Anom Anon-Anon beserta Panewu, Mantrinya, terdiri dari: Abdi Dalem: kemasan, greji, pandhe, sayang, gemblak (gembleg), puntu, samak, tukang laras, tukang warangka, tukang ukir, jlagra, slembar, gupyuh, tukang cekathak, tukang pasppor, tukang landheyan (tempat tombak), undhagi, bubut, kendhi, niyaga, badhut, dhalang, tukang sungging, tukang natah wayang, tukang cat, tukang prada, tledhel, kebon dharat, mengiringi gamelan terdiri dari: Kyai Surak, Kyai Sekar Delima, Kyai Sekar Gadhung, diberi payung kuning.
7. Selanjutnya diikuti oleh tukang song-song (payung), tukang pasar, tukang tulup, tukang jemparing (panah), tukang jungkat (sisir), teluk, gebyar, tukang musik, (batik), Patih Raden Adipati Pringgalaya dan Patih Raden Adipati Sindureja disertai benda-benda upacara kepatihan.
8. Prajurit Kompeni lima kompi dengan berkuda.
9. Benda-benda upacara Kadipaten Anom diiringi oleh para Abdi Dalem Punakawan, emban, cethi, nyai.

Kemudian Raden Adipati Anom naik kuda, berpayung berjajar dengan Mayor Hagendrop, diiringi oleh Abdi Dalem Kadipaten Anom dan ditutup oleh Pepatih dan Wedana Kadipaten: RT. Wirapraja.
10. Abdi Dalem Prajurit Sarageni dan Sarantaka, disambung dengan bedhug dengan diiringi Abdi Dalem Merbot, Penghulu, Khetib, Ulama, pradikan, berkuda dan berpayung. Disambung: Cekal Kyai Baladewa dibawa oleh Abdi Dalem Kebayan lengkap.
11. Para Sentana, Panji, Riya Pangeran, putra, berkuda, berpayung, ditutup oleh Abdi Dalem Suranata, juru besarta anak buahnya.
12. Para punakawan, Hurdenas, ponylompret Belanda, tombak milik Sunan, kiri kanan mengapit benda-benda upacara kerajaan: banyak dhalang sawung galing dibawa oleh Abdi Dalem Gandhek Mantri Anom, berpayung kuning.
Disambung benda-benda pusaka kerajaan: bendhe (canang) Kyai Bicak. Pembawanya naik kuda berpayung kuning. Disambung Abdi Dalem Gajah Mati dengan membawa Carak Kyai Nakula Sadewa, cemeti milik raja, Kyai Pecut, Kemudian Raja diiringi oleh Abdi Dalem Keparak kIwa Tengen dengan membawa benda-benda upacara Kerajaan.
Kemudian para prajurut Tamtama, kiri kanan masing-masing dua ratus orang prajurit. Disambung oleh Abdi Dalem Prajurit Mertalulut dan Singanagara, membawa pusaka oleh Abdi Dalem Keparak Kiwa Tengen berjumlah empat pulih orang, berkuda diiringi benda-benda upacara Kabupaten.
13. Abdi Dalem Keputren: Nyai Tumenggung atau Nyai Lurah Keparak Jawi dan Lebet naik tandu/kremun atau tandu kajang dan ada yang berkuda, beserta anak buah. Disambung para Wedana, Panewu, Mantri, Kliwon beserta anak buah. Kemudian istri Patih Pringgalaya dan Patih Danurejo.
Disambung Abdi Dalem Bedaya Srimpi Manggung Ketanggung atau pembawa benda-benda upacara, para Ratu serta para emban dan para Nyai. Kemudian Permaisuri Sunan diiringi oleh Abdi Dalem Gedhong Kiwa Tengen empat orang, Abdi Dalem Kliwon, Panewu, Mantri Jajar.
Disamping putera-puteri Sunan dan para Selir (Priyatun Dalem), para istri Bupati Mancanagara, semua Keputren ini sebagian besar naik tandu, kremunjoli atau jempana.
14. Benda-benda pusaka Kerajaan, dimasukkan ke dalam gendhaga (bokor), serta buku-buku Kerajaan dibawa oleh Abdi Dalem Keparak, diiringi oleh Abdi Dalem Kasepuhan, Bupati, Kliwon, Panewu, Mantri, para prajurit dan para panahan.
15. Para Abdi Dalem Perempuan, bekerja dapur beserta perlengkapan dapur, Abdi Dalem Krapyak, dengan membawa beras, ayam, dan sato iwen lain, upeti para Adipati Mancanagara.
Kemudian Abdi Dalem Jajar beserta perlengkapan rumah tangga, Abdi Dalem Pamajegan membawa kayu bakar, arang, sapit, sajen, tampah (niru), tebok, ancak, seruk (bakul), tumbu, sapu, godhong (daun), ethong, lesung, lempong, alu ujon, kukusan, irus, solet, dan sejenis peralatan dapur lainnya.
Kemudian pusaka Dalem Dandang Kyai Dhudha, pusaka Panjang Kyai Blawong, Kendhil Kyai Marica, dijaga oleh Nyai Gandarasa yang naik tandu, diiringi oleh Bupati Gading Mataram besarta anak buahnya. Kemudian disambung oleh Galadhag Pacitan membawa batu, tempat minum harian milik Raja, Sela Gilang, teras bagi Siti Hinggil Sela Gilang di Bangsal Pangrawit, Bangsal Manguntur Tangkil dan batu-batu pasalatan (untuk sembahyang), padasan, para perdikan Mancanagara, mimbar, bedhug Masjid Besar Kyai Rembeg.
Semua benda-benda pusaka tersebut diberi payung kuning, diletakkan di atas gendhaga.


16. Pohon beringin pukuran (yang ditanam di alun-alun Selatan/pukuran) diiringi oleh Abdi Dalem Pancar Mancanagara.
17. Abdi Dalem Dagang, sudagar, kriya, pangindung, blatik (pedagang kambing), mudel, umbal, mranggi, pangukir, rakyat jelata Karaton Kartasura.
18. Binatang ternak milik para putera sentana, para Bupati, Kliwon, Panewu Mantri beserta anak buahnya.
19. Abdi Dalem Pandhelegan, tukang mencari ikan, tukang baita (perahu), pambelah, jurumudi, jagal (penyembelih hewan).
20. Narindu milik Raja dijaga oleh Abdi Dalem Tuwa Baru dan Abdi Dalem Mancanegara Kilen.
21. Abdi Dalem Mancanagara wetan dan kulon, membawa pusaka meriam Nyai Setomi dan meriam-meriam lainnya.

Yang turut di dalam perpindahan tersebut kurang lebih ada 50 ribu orang (limang leksa). Didalam perjalanan tersebut sangat lambat. Jarak antara istana Kartasura sampai desa Sala memakat waktu kurang tujuh jam.
Jalan yang dilalui, mula-mula merupakan jalan setapak melewati hutan dan semak belukar. Hutan dan semak belukar itu ditebas untuk dijadikan jalan perpindahan. Jalan itu sekarang adalah jalan Pasar Klewer ke barat terus sampai ke kartasura, melalui alun-alun Kerajaan Pajang, dan berangkat dari Alun-alun Kartasura.
Setelah sampai di desa Sala, segera diadakan pengaturan pembagian tempat. Smentara para “:Pandherek” masih berkumpul di alun-alun. Setelah istirahat beberapa lama, diadakanlah upacara menghadap Raja (pasewakan agung). Tempatnya di Tatag Rambat (sekarang pagelaran).

Pada pasewakan agung itu bersabdalah Sunan Paku Buwana II kepada segenap hadirin:
Heh kawulaningsun, kabeh padha ana miyarsakna pangandikaningsun! Ingsun karsa ing mengko wiwit dina iki, desa ing Sala ingsun pundhut jenenge, ingsun tetepake dadi negaraningsun, ingsun parigi jeneng Negara Surakarta Hadiningrat. Sira padha angertekna sakawulaningsun satalatah ing Nusa Jawa kabeh.
(Pawarti Surakarta 1939 = 26).
(Hai hambaku, dengarkan semuanya sabda saya. Saya berkeinginan sejak hari ini, desa di Sala saya ambil namanya, saya tetapkan menjadi negara saya, saya beri nama negara Surakarta Hadiningrat. Kalian siarkanlah ke seluruh rakyatku di seluruh wilayah Tanah Jawa seluruhnya).

Kemudian diadakan doa syukur, dan diadakan penanaman pohon beringin kurung sakembaran di alun-alun utara (muka) dipimpin oleh Patih Pringgalaya dan Patih Sindureja. Beringin itu diberi nama: sebelah Timur, Kyai Jayandaru dan sebelah Barat, Kyai Dewandaru. Sedang pohon beringin kurung sekembaran yang ditanam di alun-alun selatan (pungkuran, belakang) dilaksanakan oleh Bupati Mancanegara.

Setelah selesai diadakan selamatan selesailah upacara perpindahan pusat kerajaan dari Kartasura ke Surakarta Hadiningrat. Lama pembangunan bangunan Kompleks istana memakan waktu sekitar delapan bulan, sering dilakukan kerja siang malam.

Selanjutnya selama lebih kurang satu bulan warga kota baru itu diperkenankan menngadakan “bujana handrawina”, berpesta pora di rumah masing-masing atau bersama-sama dengan para lurah (pemimpin) mereka.

Babad Giyanti menambahkan:’segalanya telah berjalan dengan baik sebagaimana mestinya (satata amamangun) dan biarpun tanah tidak rata, para pembesar bergegas membangun kediaman mereka yang baru dengan teratur (samya atata wisma).
Dengan naskah itu, tampak bahwa persyaratan nujum lebih penting dari pada topografi tanah. Di samping itu, istana ditetapkan sebagai bagian utama. Kita juga diberitahu bahwa pemberkatan tanah itu hanya dapat dilakukan dengan bantuan pelbagai benda keramat yang dialihkan dari Karaton terdahulu, yaitu keempat pohon waringin, bangsal pangrawit-yang sangat keramat karena mengandung bongkah batu yang dianggap bekas singgasana Hayam Wuruk (hal ini menjamin keterkaitannya dengan Majapahit)- seperti juga berbagai pusaka yang merupakan jaminan bahwa wahyu benar-benar ada pada raja yang sedang memerintah.

Kediaman para bangsawan menempati satu kawasan berisi empat yang luas, yang dikelilingi oleh tembok tinggi 3-6 meter, yang dinamakan Baluwarti/benteng (dari bahasa Portugis baluarte), dan belum lama berselang oleh sebuah parit (jagang). Ruang bertembok itu diantara dua alun-alun bujursangkar yang luas, alun-alun utara dan selatan. Di Surakarta benteng itu berukuran 1000 x 1800 meter ; di Yogyakarta dinding itu melingkari wilayah seluas 140 ha.

D. Pembangunan Kota
Setelah selesai masa “bujana handrawina”, mulailah diadakan pengaturan tempat tinggal. Di pusat istana bertempat tinggal Raja dengan keluarganya serta beberapa “priyatun dalem”. Di kompleks istana yaitu di dalam Baluwarti ditempatkan para Pangeran Putra dan Abdi Dalem yang dekat dan selalu berhubungan dengan kebutuhan harian istana, misalnya tukang masak (gandarasa), tukang tari (carangan), priyaga pinter istana (Brajanala): perlengkapan istana (Gedhong dan Lumbung) dan sebagainya.

Sedangkan di luar tembok istana ditempatkan kerabat raja (Hadiwijaya, Suryahamijaya), dan perlengkapan putera-puteri raja (Karatonan, tulisan, kuplukan, dan sebagainya). Abdi Dalem Keparak Kiwa dan Tengen ditempatkan di luar istana. Begitu pula benteng Belanda, rumah para pembesar Belanda.
Sedangkan para prajurit ditempatkan pada batas kota (Sarageni, Mertalulut, Singanegara, Jayataka, Miji Pinilih, dan sebagainya). Penampatan itu per golongan atau kelompok. Maka terciptalah nama-nama kampung didasarkan pada nama kelompok Abdi Dalem (Kalangan, Jagalan, Metalulutan, Saragenen, Gandekan Kiwa, Baluwarti, dan lain-lain). Hal ini untuk memudahkan mengingatnya.

Setelah pengaturan tempat tinggal para Sentana, Abdi dan Kawula Dalem selesai pengaturannya, termasuk para pejabat Pemerintah Kompeni Hindia Belanda, orang-orang Asing, para petugas Misionaris dan Zendeng, maka bersamaan dengan itu mulai dibangun pasar-pasar, seperti Pasar Harjanagara (Pasar Besar), Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Pahing (Pasar Nangka), Pasar Wage (Pasar Jongke), Pasar Nglorengan/Slompretan/Klewer, dan lain-lain.

Demikianlah kota cepat berkembang, pada masa Paku Buwana IV kota Sala sudah hampir sama dengan kota Sala jaman Paku Buwana X. Lebih-lebih setelah dibangun jembatan Jurug dan Jembatan Bacem, banyak pedagang dari luar kota berdatangan berdagang di kota Sala.
Hal lain yang perlu ditambahkan adalah adanya tradisi pemberian nama tempat dan nama orang dalam masyarakat Jawa. Nama-nama tempat/kampung dan nama orang di Surakarta juga dipengaruhi tradisi ini.

Tradisi pemberian nama pada setiap masyarakat bangsa tidak mesti sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan budayanya. Orang Indian menggunakan tradisi Totemisme, orang Cina menggunakan tradisi She, dan sebagainya.
Pada orang Jawa, tradisi pemberian nama agak unik. Apabila kata bin atau binti menunjukkan tradisi Islam bila bin atau ibn menunjukkan keturunan laki-laki, maka binti adalah untuk anak perempuan.
Di beberapa suku bangsa sering menggunakan nama marga untuk menunjukkan keluarga besar, Klan atau sukunya. Misalnya marga Harahap, Sihombing, Nainggolan dan sebagainya dan biasanya digunakan oleh beberapa suku bangsa di Sumatera Barat dan Tengah. Fungsi marga ini sama seperti She dalam tradisi Cina
Pada tradisi pemberian nama orang Jawa sepanjang sejarahnya hampir selalu mengalami perkembangan akibat budaya dan monesisnya dari jamannya.

Pada masa Jawa Hindu, yaitu masa antara abad ke 5 – 11 pengaruh Hinduisme masih sangat kuat. Maka nama-nama yang dipakai bernafaskan keagamaan Hindu. Bahkan ada unsur awatara ( penitisan atau inkarnasi ) masuk ke dalam pemberian nama tersebut.

Hingga hal ini memudahkan bagi kita untuk menetapkan yang bersangkutan itu menganut agama apa. Namun demikian, akibat kurangnya data sejarah, kita sangat sulit untuk dapat menemukan nama masa kanak-kanak ( nama pribadi ).
Nama-nama yang kita peroleh dari sumber sejarah yang kita temukan berupa prasasti, merupakan nama ketika berkuasa ( period name ) atau mungkin bahkan nama Prabasuyasa atau percandian ( temple name ).
Hanya pada masa awal Mataram Hindu, nama-nama yang kita temukan kelihatannya seperti nama pribadi, bukan nama jabatan ( sebagai penguasa ) misalnya : Purnawarman, Sanjaya, Sanaha, Pancapana, Warak, Garung, Pikatan dan sebagainya yang semuanya berciri nama pribadi.

Selanjutnya kita temukan nama Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu atau Rakai Watukura Ishwara Kesawasawatungga ( Samarattungga ) yang bernafaskan Syiwaisme adalah nama untuk raja Balitung dari Kerajaan mataram Hindu.

Sesudah masa Balitung ini, maka nama raja-raja biasanya menggunakan nama ketika memerintah ( period name ) serta nama percandiannya ( temple name ) Misalnya : Dakshatama Bahubraja Pratipakshaya untuk raja Daksa, juga bernafaskan Syiwaisme. Pangganti Raja Daksa ialah Rakai Layang Dyah Tulodong Shri Sajjanasanmaturaga Tunggadewa untuk raja Tulodong, dan Rakai Pangkaya Dyah Wawa Shri Wijayalokanamatungga untuk raja Wawa. Nama-nama tersebut merupakan nama percandian ( temple name )

Selanjutnya pada masa Jawa Timur, terutama pada masa Medang Kahuripan dan Kediri mulai terjadi sedikit perubahan. Pada masa ini sifat Hinduisme sudah agak berkurang dan mengarah ke Hindu Jawa. Sifat kewisnuan nampak kuat disamping unsur Asli mulai muncul. Latar belakang pemakaian nama Dewa (Iswara, Vajra, Ishana, Dewa, Lokeswara, Uttunggadewa, dan sebagainya) menunjukkan masih kuatnya pengaruh ajaran inkarnasi dalam Hinduisme.

Peristiwa demikian ini terjadi lagi pada masa Islam yang dengan menggunakan nama-nama seprti Muhammad, Fatahillah, Abdul Mufakir, Yusuf dan sebagainya menunjukkan nafas keislaman.


Masa Medang Kahuripan maupun Kediri masih nampak adanya pengaruh inkarnasi tersebut. Ternyata di dalam gelar berikut: Sri Dharmawangsateguh Anantawikramatunggadewa untuk raja Dharmawangsa Teguh, Rakai Halu Shri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa untuk raja Airlangga. Kemudian muncul sebutan digdaya, bhuwana, bumi, menunjukkan gaya kejayaan. Misalnya; Shri Maharaja Rake Sirikan, Shri Kameswara Sakalabhuwana Mustikarana Sarwaniwaryawirya Parakrama Didayutunggadewa untuk Raja Kameswara II, Sang Mahapanji Jayabaya Sri Dharmeswara Madusudanawatara-ninditha Suhersinga untuk Raja Jayabaya, dan sebagainya.
Disamping itu muncul nama Juru Dyah dan Prasanta (Jodeh dan Santa); Sabda Palon dan Naja Genggong; Si Dudul dan Si Dulet; Dora dan Sembada; Duduga dan Prayoga adalah nama-nama Abdi kinasih raja atau pangeran yang menjadi tokoh utama dalam suatu cerita.

Juga nama-nama berlatar belakang Totemisme, ialah suatu kepercayaan asli dengan menggunakan nama-nama hewan atau keadaan alam, seperti: Lembu Amilihur, Lembu Amisani, Lembu ampal, Lembu Tal, Gajah Mada, Gajah Enggon, Kebo Ijo Kebo Nabrang, Kebo Tengah, Kudamerta, Kuda Waneng Pati, Kuda Lalayean, Candrakirana, Sekartaji, Hayam Wuruk, Kencana Wungu, Damarwulan, Minakjingga, dan lain-lain yang berkembang pada masa Kediri, Singasari dan Majapahit. Bersamaan dengan itu munculpula nama-nama Jawa: Tohjaya, Kertanagara, Ranggalawe, Sora, Nambi, Semi, Kuti, Jayanegara dan lain-lain.

Perkembangan selanjutnya mengarah kepada pola Kejawaan dan Jawa. Nama pribadi atau nama kanak-kanak mulai kita kenal. Mungkin nama kanak-kanak ini sejak semula memang sudah ada, hanya kita yang kekurangan data. Akhirnya yang sudah ketahui sekarang adalah kanak-kanak dan nama keluarga, nama panggilan, nama paraban, nama jabatan, serta nama babtis.

Ada beberapa dasar tradisi pemberian nama itu.

1. Dasar situasi dan kondisi lingkungan sekitar: Sela, Wanasaba, Wonogiri, Semarang, Karangbolong, Dalemreja, Sala, Jurang Jero, Ledhok, Tegal Kuniran dan sebagainya.
2. Dasar harapan masa depan yang gemilang: Wnakerta, Kartasura, Surakarta, Ngayogyakarta, Umbulreja, Sala, Jurong Jero, Ledhok, Tegal Kuniran dan sebagainya.
3. Dasar penguasa atau orang terhormat di tempat itu: Singasaren, Jayanegaran, Danukusuman, Pringgalayan, Purwapuran, Purwaprajan, Cakranegaran, Wiragunan, Purwadiningrat, Yudanegaran, Reksoniten dan sebagainya.
4. Dasar kelompok Abdi Dalem di tempat itu: Gandekan Kiwa/Tengen, Mertolulutan, Singanegaran, Miji Pinilihan, Saragenen, Jayatakan, Brajanalan, Kabangan, Jagalan, Gajahan, Kepunton, Tamtaman, dan sebagainya.

Nama dan toponimi berhubungan erat. Dasar inilah yang digunakan Purbacaraka untuk menentukan letak Bekasi atas dasar Prasasti Tugu.
Selanjutnya tentang ada beberapa pengertian: “Toponimy is the study of toponimis” (Random House Dictionary, 1968: 1386). M.J. Koenens (1938 – 1038) mengatakan bahwa toponimi adalah pengetahuan tentang nama-nama (plastsnamen kunde). Arti dari kedua pendapat tersebut antara lain ialah ilmu yang bergerak dalam pengetahuan tentangpenelitian nama-nama tempat.

Dari kedua pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa dengan pengetahuan toponimi kita dapat menentukan atau menunjukkan nama-nama atas tempat-tempat tertentu dan akhirnya dapat kita tentukan peta geografisnya. Dengan toponimi pula kita dapat menentukan pola-pola berpikir dan merasa diri penduduk di suatu tempat atau lokal atau daerah tertentu pula pada suatu waktu. Bahkan nama suatu tempat, desa atau kota saja dibuatkan suatu cerita untuk mengesahkan tentang nama tempat, desa atau kota tersebut.

Beberapa contoh dapat untuk menunjukkan pola berpikir masyarakat suatu daerah.

1. Nama Banyuwangi, terjadi dari suatu cerita seorang bangsawan yang membunuh istrinya yang tidak bersalah. Sebelum meninggal istrinya, berkata “Apabila air sungai ini berbau wangi (harum) pertanda bahwa saya tidak bersalahi. Demikianlah benar-benar air sungai itu berbau harum, dan bangsawan itu berteriak ‘Banyuwangi’ yang akhirnya menjadi nama kota di Jawa Timur itu.
2. Semarang, terjadi karena di situ dahulu menjadi pusat penimbunan buah asam (asem) dan arang (Asem) dan arang menjadi Asemarang-Semarang).
3. Boyolali berhubungan dengan cerita Kyai Ageng Pandanarang (Sunan Tembayat) dalam perjalanannya dari Semarang akan berzirah ke makam di Jabalkat (Tembayat). Dalam cerita tersebut muncul nama-nama: Gombel, Srondol, Ungaran, Salatiga, Boyolali, Teras, Majasanga, Banyudana, dan sebagainya.
4. Begitu pula tentang nama-nama Tangkuban Perahu, Tegal Arum, Weleri, Kali Wungu, Dieng (Dihyang), Magelang, Banyumas, dan sebagainya.
Sehubungan dengan uraian ini, kata Surakarta adalah nama sebuah kota di daerah Jawa Tengah Selatan yang dijadikan pusat kerajaan Mataram akhir dan Kasunanan Surakarta. Kata Surakarta sendiri mempunyai beberapa nama:
1. Bagi seorang seniman, nama kata ini disebutkan Kota Bengawan seperti halnya kota Gudeg untuk Yogyakarta; Kota Kembang untuk Bandung, Kota Perjuangan untuk Surabaya dan lain-lain.
2. Masyarakat pedesaan menyebutnya Nagari, sebab mengingat sejarahnya, kota ini dahulu menjadi pusat pemerintahan (Kutha Negara Kerajaan, pusat kedudukan Raja.
3. Secara tradisional, kota ini disebut Kutha Sala, di mana Kutha berarti tempat yang dikelilingi tembok tinggi (kutha negara). Disamping itu, penyebutan tersebut menunjukkan kesederhanaan berpikir, sikap dan pandangan hidup orang Jawa. Ucapan Wong Sala lebih dikenal daripada Wong Surakarta, seperti halnya Wong Majapahit, Wong Blambangan, dan sebagainya.
4. Para wisatawan lebih senang menyebutnya Kota Solo, seperti lagu ciptaan Gesang, yaitu Bengawan Solo, karena dinilai sebagai pusat budaya Jawa dengan sifat khas budaya kejawen.
5. Secara administratif pemerintah (resmi) dan dalam sumber-sumber resmi tertulis, disebut kota Surakarta atau Surakarta Hadiningrat.

Demikian uniknya Wong Sala atau Wong Jawa dalam soal nama.Pembahasan terhadap tradisi pemberian nama baik orang maupun tempat akan mengangkat usaha menemukan gejala-gejala masa lampau yang berproses menjadi hasil karya dalam bidang budaya masyarakat, terutama masyarakat Jawa.
Maka dalam pembahasan tradisi pemberian nama ini akan menyangkut pula masalah: pertama, kapan Kutha Sala tumbuh dan bagaimana latar belakang sejarahnya yang kemudian berkembang menjadi Pusat Kebudayaan Jawa dan Kerajaaan Surakarta Hadiningrat; kedua, latar belakang budaya yang manakah yang melahirkan nama-nama perkampungan di kota Surakarta berbeda dengan nama-nama perkampungan di kota-kota lain kerajaan Kejawen (Vorstenladen).



diambil dari babad solo