Selasa, 29 Juni 2010

(Sejarah) Karaton Surakarta Hadiningrat dan Asal Nama Kota Solo

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 06.46 No comments



Karaton Surakarta adalah sebuah warisan budaya Jawa. Wujudnya berupa fisik bangunan Karaton, benda artefak, seni budaya, dan adat tata cara Karaton. Keberadaannya yang sekarang ini adalah hasil dari proses perjalanan yang panjang, dan merupakan terminal akhir dari perjalanan budaya Karaton Surakarta.

Usaha memahami keadaannya yang sekarang tidak bisa lepas dari usaha mempelajari asal usul dan keberadaanya di masa lampau. Sebab sepenggal cerita dan deskripsi sejarah suatu peristiwa kurang memberi makna yang berarti, jikalau tidak dikaitkan dengan proses dan peristiwa yang lain. Oleh karena itu peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam satu alur yang sama akan memberikan pemahaman yang menyeluruh dan utuh dari situasi yang sama saat ini.

Dalam kajian sejarah Karaton Surakarta akan ditelusuri dan dideskripsikan latar belakang dan proses menemukan lokasi Karaton, pemindahannya, pembangunannya serta perkembangannya baik dari segi fisik bangunan maupun segi nonfisik. Deskripsi historis berdasarkan sumber informan, dokumen-dokumen karya sastra dan sebagainya diharapkan memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang Karaton Surakarta.
Dari pengetahuan ini orang/masyarakat akan tumbuh kesadaran akan warisan budaya tersebut dan memiliki persepsi tertentu terhadap obyek tersebut.
Persepsi awal yang dapat dibentuk dari hasil kajian sejarah Karaton Surakarta ini pada gilirannya bisa menimbulkan daya tarik, memotivasi orang/warga masyarakat baik Nusantara maupun mancanegara untuk mengetahui lebih lanjut dan mendalam tentang segi-segi dari warisan budaya Karaton Surakarta tersebut.

A. Pengertian Karaton

Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai pengertian Karaton. Menurut KRHT Wirodiningrat (Kantor Sasono Wilopo), ada tujuh pengertian (saptawedha) yang tercakup dalam istilah Karaton. Pertama, Karaton (Karaton) berarti kerajaan. Kedua, Karaton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua aspek: kenegaraan (Staatsrechtelijk) dan magischreligieus. Ketiga, Karaton berarti penjelmaan “Wahyu nurbuwat” dan oleh karena itu menjadi pepunden dalam Kajawen. Keempat, Karaton berarti istana, kedaton “Dhatulaya” (rumah). Kelima, bentuk bangunan Karaton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. Keenam, Karaton sebagai Cultuur historische instelling (lembaga sejarah kebudayaan) menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. Ketujuh, Karaton sebagai Badan (juridische instellingen), artinya Karaton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah kekuasaan (bezittingen) sebagai sebuah dinasti.

B. Proses Penemuan Lokasi Karaton

Baik dalam Babad Tanah Jawi (1941), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun dalam Babad Giyanti (1916, I), kisah perpindahan Karaton dari Kartasura ke Surakarta hampir sama deskripsinya. Secara ringkas kisahnya sebagai berikut.

Ketika Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) kembali dari Ponorogo (1742), baginda menyaksikan kehancuran bangunan istana. Hampir seluruh bangunan rusak berat, bahkan banyak yang rata dengan tanah akibat ulah para pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk membangun sebuah istana yang baru, sebab istana Kartasura sudah tidak layak lagi sebagai tempat raja dan pusat kerajaan.
Niat ini kemudian disampaikan kepada para punggawa kerajaan. Patih R. Ad. Pringgalaya dan beberapa bangsawan diajak berembug tentang rencana pembangunan istana baru tersebut. Raja berkehendak membangun istana baru di tempat yang baru. Raja menghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat dengan Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjahui pengaruh para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran istana Kartasura.

Setelah diadakan pembicaraan seperlunya tentang rencana Sunan tersebut, akhirnya Sunan mengutus utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan istana baru. Para utusan tersebut diberi wewenang dan kekeuasaan untuk bersama-sama mencari dan memilih tempat yang cocok untuk istana batu, baik sacara lahiriah maupun batiniah.

Utusan itu terdiri dari Mayor Hohendorp, Adipati Pringgalaya, dan Adipati Sindurejo (masing-masing sebagai Patih Jawi’Patih Luar’ dan Patih Lebet ‘Patih Dalam’), serta beberapa orang bupati. Utusan itu diikuti oleh Abdi Dalem ahli nujum, Kyai T. Hanggawangsa, RT Mangkuyuda, dan RT Puspanegara. Setelah berjalan lama, mereka mendapatkan tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun istana. Ketiga tempat itu adalah:

1. Desa kadipala; daerahnya datar, kering, akan tetapi para ahli nujum tidak menyetujui, sebab walaupun kelak kerajaan Jawa tumbuh menjadi kerajaan yang besar, berwibawa dan adil makmur, namun akan cepat rusak dan akhirnya runtuh. Sebagai tanda, maka ditempat itu dibangun sebuah panggung (Kopel). Sekarang panggung itu dikelilingi oleh bangunan dan gudang kayu jati milik seorang Cina, Jap Kam Mlok (Tikno Pranoto, tth: 27). Letaknya di depan bekas Rumah Sakit Kadipala, di sebelah utara jalan Dr. Rajiman.

2. Desa Sala; atas pilihan RT. Hanggawangsa dan disetujui oleh semua utusan kecuali Mayor Hohendorp. Alasannya, tanahnya sangat rusak, terlalu dekat dengan Bengawan Sla, dan daerahnya penuh dengan rawa-rawa yang dalam.

3. Desa Sana Sewu; terhadap tempat ini RT. Hanggawangsa tidak menyetujuinya, karena menurut ‘jangka’, akan mengakibatkan perang saudara dan penduduk Jawa akan kembali memeluk agama Hindu dan Budha (tiyang Jawi badhe wangsul Budha malih) (Panitia Hari Jadi, 1973:81;Pawarti Surakarta, 1939:9-10).

Setelah diadakan permusyawaratan, para utusan akhirnya memilih desa Sala sebagai calon tunggal untuk tempat pembangunan istana baru, dan keputusan ini kemudian disampaikan kepada Sunan di Kartasura. Setelah Sunan menerima laporan dari para utusan tersebut, kemudian memerintahkan beberapa orang Abdi Dalem untuk meninjau dan memastikan tempat itu.

Utusan itu ialah Panembahan Wijil, Abdi Dalem Suranata, Kyai Ageng Khalifah Buyut, Mas Pangulu Fakih Ibrahim, dan Pujangga istana RT. Tirtawiguna (Tus Pajang, 1940:19-21). Sesampainya di desa Sala, utusan tersebut menemukan suatu tempat yang tanahnya berbau harum, maka disebut desa Talangwangi (tala = tanah; wangi = harum), terletak di sebelah barat laut desa Sala (sekarang menjadi kampung Gremet).

Setelah tempat tersebut diukur untuk calon lokasi istana, ternyata kurang luas, maka selanjutnya para utusan melakukan “samadhi” (bertapa) untuk memperoleh ilham (“wisik”) tentang cocok atau tidaknya tempat tersebut dijadikan pusat istana. Mereka kemudian bertapa di Kedhung Kol (termasuk kampung Yasadipuran sekarang).

Setelah beberapa hari bertapa, mereka memperoleh ilham bahwa desa Sala sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi pusat kerajaan baru yang besar dan bertahan lama (Praja agung kang langgeng). Ilham tersebut selanjutnya memberitahukan agar para utusan menemukan Kyai Gede Sala (sesepuh desa Sala).

Orang itulah yang mengetahui ‘sejarah’ dan cikal bakal desa Sala . Perlu diketahui, bahwa nama Kyai Gede Sala berbeda dengan Bekel Ki Gede Sala, seorang bekel yang menepalai desa Sala pada jman Pajang. Sedang Kyai Gede Sala adalah orang yang mengepalai desa Sala pada jaman kerajaan Mataram Kartasura (Pawarti Surakarta, 1939:6-7).

Selanjutnya Kyai Gede Sala menceritakan tentang desa Sala sebagai berikut. Ketika jaman Pajang, salah seorang putera Tumenggung Mayang, Abdi Dalem kerajaan Pajang, bernama Raden Pabelan, dibunuh di dalam istana, sebaba ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, puteri Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (Atmodarminto, 1955:83;Almanak Cahya Mataram, 1921:53;Dirjosubrata, 1928: 75-76).

Selanjutnya mayat raden Pabelan dihanyutkan (“dilarung”) di sungai Lawiyan (sungai Braja), hanyut dan akhirnya terdampar di pinggir sungai dekat desa Sala. Bekel Kyai Sala yang saat itu sebagai penguasa desa Sala, pagi hari ketika ia pergi kesungai melihat mayat. Kemudian mayat itu didorong ke tengah sungai agar hanyut. Memang benar, mayat itu hanyut dibawa arus air sungai Braja.

Pagi berikutnya, kyai Gede Sala sangat heran karena kembali menemukan mayat tersebut sudah di tempatnya semula. Sekali lagi mayat itu dihanyutkan ke sungai. Namun anehnya, pagi berikutnya peristiwa sebelumnya berulang lagi. Mayat itu kembali ke tempat semula, sehingga Kyai Gede Sala menjadi sangat heran.

Akhirnya ia “maneges”, minta petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa atas peristiwa itu. Setelah tiga hari tiga malam bertapa, Kyai Gede Sala mendapat ilham atau petunjuk. Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah.

Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang menjadi mayat itu dan mohon dengan hormat kepada Kyai Gede Sala agar dia dikuburkan di situ. Namun sayang, sebelum sempat menanyakan tempat asal dan namanya,pemuda itu telah raib/menghilang.

Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti permintaan pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena namanya tidak diketahui, maka mayat itu desebut Kyai Bathang (bathang = mayat). Sedangkan tempat makamnya disebut Bathangan (makam itu sekarang berada di kawasan Beteng Plaza, Kelurahan Kedung Lumbu). Dengan adanya Kyai Bathang itu, desa Sala semakin raharja (Sala = raharja_, kehidupan rakyatnya serba kecukupan dan tenang tenteram (Roorda, 1901:861).


Demikian cerita singkat Kyai Gede Sala. Kuburan itu terletak di tepi rawa yang dalam dan lebar. Keadaan ini kemudian oleh para utusan dilapokan kepada Sunan di Kartasura.

Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera memerintahkan kepada Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura (I), serta RT. Padmagara, untuk mengupayakan agar desa Sala dapat dibangun istana baru. Ketiga utusan tersebut kemudian pergi ke desa Sala.

Sesampainya di desa Sala, mereka berjalan mengelilingi rawa-rawa yang ada disekeliling desa Sala. Akhirnya mereka dapat menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air).

Hal itu dilaporkan kepada Sunan, dan kemudian Sunan memutuskan bahwa desa Sala-lah yang akan dijadikan pusat istana baru. Sunan segera memerintahkan agar pembangunan istana segera dimulai. Atas perintah Sunan, seluruh Abdi Dalem dan Sentana dalem membagi tugas: Abdi Dalem mancanegara Wetan dan Kilen dimintai balok-balok kayu, jumlahnya tergantung pada luas wilayahnya. Balok-balok kayu tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rawa di desa Sala sampai penuh.
Meskipun demikian belum dapat menyumbat mata air rawa tersebut, bahkan airnya semakin deras.

Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos pinten-pinten ewu, meksa mboten saget pampet, malah toya saya ageng ambalaber pindha samodra.(Tus Pajang, 1940:24-25).
(Walaupun diberi batu ataupun balok-balik kayu yang besar-besar sampai beribu-ribu banyaknya, terpaksa tidak dapat tertutup, bahkan keluarnya air semakin besar dan menyeruap bagaikan samodra).
Bahkan lebih mengherankan lagi, dari sumber air tersebut keluar berbagai jenis ikan yang biasa hidup di air laut (teri pethek, dsb).

Menyaksikan kejadian itu, Panembahan Wijil dan Kyai Yasadipura bertapa selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan tidur. Akhirnya pada malam hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) Kyai Yasadipura mendapatkan ilham sebagai berikut:

He kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase (Pawarti Surakarta, 1939:7).
(Hai, kalian yang bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat ditutup, sebab menjadi tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian ingin menyumbatnya gunakan cara: gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala ronggeng, cendol mata orang, disitulah pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi besok kenghung itu tidak akan mengalir, tetapi juga tidak berhenti mengeluarkan air, kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya).

Penerimaan ilham tersebut terjadi pada hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) tanggal 28 Sapar, Jimawal 1669 (1743 Masehi) (Yasadipura II, 1916: 17-18).

Segala kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Sunan di Kartasura. Sunan sangat kagum mendengar laporan tersebut dan setelah berpikir keras akhirnya Sunan bersabda:

Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene Gong Sekar Dlima tegese gangsa, lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong Sekar Delima, dadi sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni iku Kyai Gede Sala. Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah tledhek arta kehe saleksa ringgit (cendhol mata uwonng), mangka liruning kang dadi wulu wetuning desa tekan ing sarawa-rawa pisan (Pawarti Surakarta, 1939:8).
“Tledhek” berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti “gangsa”, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal (desa) yaitu Kyai Gede Sala. Atas pertimbangan itu sepantasnya menerima ganti uang sebanyak sepuluh ribu ringgit. Sebagai ganti rugi penghasilan desa beserta rawa-rawanya.

Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar sepuluh ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala bertapa di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala memperoleh “Sekar Delima Seta” (putih) dan daun lumbu (sejenis daun talas). Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam sumber mata air (Tirta Amerta Kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bhakti (gugur gunung) menutup rawa.

Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya dipindahkan dan dimukimkan kembali di tempat lain (“wong cilik ing desa Sala kinen ngalih marang ing desa Iyan sami”). Kemudian pembangunan dimulai dengan menguruk tanah yang tidak rata dan dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan lebarnya (“ingkur amba dawane”). Puluhan ribu (leksan) buruh bekerja di proyek pembangunan itu. Dinding-dinding pertama dibangun dari bambu karena waktunya mendesak. Adapun desain umumnya mencontoh model Karaton Kartasura (“anelad Kartasura”) (Lombard, III: 109).

Mengapa pilihan jatuh di desa Sala, ada beberapa alasan yang dapat diajukan, baik dilihat secara wadhag atau fisik-geografis maupun alasan magis-religius. Desa Sala letaknya dekat dengan Bengawan Sala, yang sejak lama mempunyai arti penting dalam hubungan sosial, ekonomi, politik, dan militer antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sebuah sumber menyebutkan, Bengawan Sala atau atau Bengawan Semanggi mempunyai 44 bandar (Fery Charter abad ke-14), salah satunya bernama Wulayu atau Wuluyu atau sama dengan desa Semanggi (bandar ke-44). Dalam Serat Wicara Keras disebutkan, Bengawan Sala sebagai Bengawannya orang Semanggi (bandingkan dengan Babad Tanah Jawi).

Alasan lainnya, di desa Sala cukup tenaga kerja untuk membuat Karaton karena dikelilingi oleh desa Semanggi, Baturana, dan Babudan (dua desa yang terakhir merupakan tempat Abdi Dalem pembuat babud permadani pada jaman Kartasura). Desa Sala sendiri zaman Padjang dibawah bekel Kyai Sala. Alasan politis juga dapat dimasukkan, terutama dalam menjaga kepentingan VOC. Untuk mengawasi Mataram maka VOC membangun benteng di pusat kota Mataram yang mudah dijangkau dari Semarang sebagai pintu gerbang ke pedalaman.

Sementara itu terdapat sejumlah alasan magis-religius seperti berikut ini. Pertama, desa Sala terletak di dekat tempuran, yaitu bertemunya Sungai Pepe dan Bengawan Sala. Tempuran merupakan tempat magis dan sakral. Dismping itu, kata Sala atau Qala dihubungkan dengan bangunan suci. Kata itu berarti ruangan atau bangsal besar dan telah disebut-sebut dalam OJO no. XLIII (920) dengan istilah Kahyunan. Di Qala tedapat sekolah Prahunan (sekarang kampung praon) di dekat muara Sungai Pepe, yang artinya bangunan suci di Hemad (I Hemad atau Ing Hemad, Ing Gemad = Gremet). “Ning peken ri hemad”, artinya di pasar ngGremet, tempat dilakukan upacara penyumpahan mendirikan tempat swatantra perdikan di Sala.

Pembangunan Karaton segera dimulai setelah rawa-rawa berhasil dikeringkan dan tempatnya dibersihkan. Untuk mengurug Karaton, tanahnya diambil dari desa Talawangi. (dalam sebuah sumber lain disebutkan, “hawit iku pada kalebu hing jangka, sak mangsa-mangsa ndandani Kadaton bakal njupuk hurug lemah Kadipala (Tetedakan sangking Buk Ha: Ga, Sana Pustaka).
Jadi tanah Talawangi dan tanah Sala kedua-duanya dipakai untuk pembangunan Karaton. Karaton telah berdiri meskipun belum dipagari batu dan baru dari bambu (jaro bethek). Sirnaning Resi Rasa Tunggal (1670) menandai saat pengerjaan Karaton selesai, meskipun nampak tergesa-gesa.

Kata Surakarta sendiri lebih dicari akarnya pada kata atau kerajaan sebelumnya, Kartasura dan Kerta. Kartasura (Jaman Amangkurat II) dulu bernama Wanakerta = berani berperang. Sedangkan Kerta atau Karta = tenteram, pusat Mataram jaman kejayaannya. Jadi keturunan Mataram mengharapkan kejayaan dan ketentraman kembali Mataram seperti ketika beribukota di Karta.

Ada pendapat lain yang mengatakan, kata Sala berasal dari desa ala, artinya desa yang jelek. Dan, Karta Sura artinya bukan Karta dan Sura, karena fakta membuktikan bahwa Kartasura tidak banyak membawa kegahagiaan. Sedangkan kata Surakarta sering kali juga dihubungkan dengan Batavia atau Jayakarta. Orang Jawa Barat menyebut bandar ini dengan nama Surakarta. Untuk menghormati Kompeni, maka Sunan menamakan Karatonnya yang baru dengan Surakarta (Hadiningrat).

Setelah tanah diratakan, Sunan memerintahkan agar dilakukan pengukuran calon istana (kutha). Petugasnya adalah : Mayor Hohendrop, Patih R. Ad. Pringgalaya, Kyai T. Puspanagara, Kyai T. Hanggawangsa, Kyai T. Mangkuyuda, dan Kyai T. Tirtawiguna. Petugas pengukur calon istana ialah Panembahan Wijil dan Kyai Khalifah Buyut. Pengukur “adu manis”-nya istana ialah Kyai Yasadipura dan Kyai Tohjaya.

Untuk mempertinggi pusat istana, maka mengambil tanah dari Talawangi, Kadipala dan Sanasewu. Para tukang (abdi dalem Kalang) diperintahkan dan dikerahkan untuk membangun istana. Lurah Undhagi (tukang kayu) dipimpin oleh Kyai Prabasena dibantu oleh Kyai Karyasana, Kyai Rajegpura, Kyai Sri Kuning, ditambah tenaga dari mancanegara. Sebagai penanggungjawab adalah R. Ad. Pringgalaya dengan dibantu para Bupati Jawi dan Lebet.
Permulaan pembangunan itu ditandai dengan sengkalan “Jalma Sapta Amayang Buwana = 1670 Jawa (1744 M)


C. Prosesi Pemindahan Karaton dari Kartasura ke Surakarta

Pada suatu ketika RT. Tirtawiguna di tanya oleh Sunan tentang persyaratan perpindahan pusat istana, maka RT. Tirtawiguna memberi penjelasan sebagai berikut (Adeging Karaton tth:13):
1. Ketika Raja Parasara memindahkan kerajaannya ke Hastinapura, persajian yang diadakan adalah pala kirna, pala kesimpar, pala gumantung, pala kependhem, pala andheng atau bunga-bungaan yang harum baunya ditaruh ditengah istana. Para pendeta berdoa sehari semalam. Barulah perpindahan dilakukan.
2. Prabu Aji Pamosa dari Kediri memindahkan pust Kerajaan dari Kediri ke Witaradya. Persajian sama dengan Prabu Yudayaka (Parasara) di Hastina, dengan ditambah “tumpeng rajegan” (tumpeng seribu buah) diberi daging binatang berkaki empat, ikan darat, ikan kali, daging jenis unggas, “jajan pasar”.
3. Prabu Dewata Cengkar di Medang Kamulang, pindah ke Medang Kamulan Timur. Persajian sama seperti Prabu Aji Pamosa dengan ditambah “gecok mentah” dipasang di setiap sudut istana dan setiap perempatan besar dan kecil.
4. Pabu Banjaran Sari di Kerajaan Pajajaran pindah ke Galuh. Persajian sama dengan yang dilakukan oleh Prabu Dewata Cengkar dengan ditambah Raja dan Ratu berpakaian “Wligasan” (pakaian penganten), menghias jalan-jalan, para abdi dalem “Sarimbit” dengan pakaian “Kepangeranan penganten” (pakaian penganten sesudah upacara kirab “Kanarendran”)

Segala kegiatan perpindahan tersebut seluruhnya selalu diakhiri dengan “bujana handrawina” (peta atau resepsi). Sunan menerima persajian seluruhnya dan ditambah dengan “bumbu-bumbu masak atau racikan atau rerajungan”. Selanjutnya diatas rencana perpindahan tersebut lebih dahulu barang-barang yang dipindahkan adalah:
1. beras dan padi
2. perlengkapan dapur dengan segala macam bumbu masak
3. sato iwen (ayam, itik, dan sejenisnya)
4. raja kaya (hewan ternak berkaki empat)
5. perlengkapan-perlengkapan lain

Sedang jenis “sajen” yang diadakan ialah: gecok kelapa, bekakak ikan, bumbu sekapur peyon atau robyongan: bunga sirih lengkap, rokok boreh. Jenis tumpeng: megana, urubing damar, tatrah, rabah, rerajungan, rukini, kelut, litut, gicing.

Disamping masih ada sayuran, ikan, daging dan segala macam jenang : jenang abang, putih, selaka, mangkur, kiringan, ngongrong, dodol, a lot, bakmi, bandeng, lemu kaleh, kalong, jada, wajik, pudhak pondhoh, ketan manca warna atau pala kirna, pala gumantung, pala kesimpar, pala kependhem, dan pala andheng.

Kemudian berbagai macam telur, ayam, itik, burung, ikan dan sebagainya.
Berbagai macam benang, kain batik, selendang, kain kerik dan masih banyak lagi jenis sajian lainnya. ( Pawarti Surakarta, 1939 : 10-11) Kemudian tiga jenis emas, perak, binatang hidup.

Setelah semua persiapan dirasa cukup lengkap, maka pada hari yang telah ditetapkan, Sunan beserta segenap Keluarga kaum kerabat pindah tempat dari Kartasura ke desa Sala.

Mayor Hogendorp beserta pasukannya berapa di depan sejumlah lima kompi. Perpindahan itu dilakukan pada hari Rabu Pahing, 17 Sura, Sesengkalan “ Kambuling Puja Asyarsa ing Ratu “ ( 1670 Jawa = 1745 M atau 17 Februari 1745 ). Dalam Serat Kedhaton, disebutkan :


Sigra jengkar saking Kartawani
Ngalih kadhaton mring dhusun sala
Kebut sawadya balane
Busekan sapraja gung
Pinengetan hangkate huni
Hanuju hari Buda henjing wancinipun
Wimbaning lek ping Sapta Wlas
Sura He je kombuling Pudya Kapyarsi
Hing Nata kang sangkala


Segera berangkat dari Kartasura
Pindah karaton di dusun sala
Semua bala prajurit
Sibuk seluruh praja
Diperingati berangkatnya dulu
Bertepatan hari Rabu pagi,
Tanggal 17
Sura je Kombuling Puja kapyarsa
Ing Ratu sengkalinya ==>> ndak tau artinya..


Raja dan Ratu tampil di singgana ( sithinggil ) diiring semua penari perempuan ( Bedhaya Serimpi ) dan para pengikut. Mereka disambut serentak oleh tembakan meriam, bunyi gamelan dan tiupan terompet. Lalu mereka mulai berjalan dan sang pujangga mendiskripsikan dengan teliti urut-urutan panjang itu, yang secara simbolis berarti “ mengankut Karaton sampai ke desa Sala “ ( ngalih kadhaton mring dhusun Sala ). Susunan barisan berikut ( Pawarti Surakarta 1939 : 16 – 21 ; Yasadipura II, 1916, 1 : 20 -21 )

1. Waringin kurung sakembaran ( dua batang pohon beringin ) diberi kain cinde diapit oleh Abdi Dalem dari desa-desa.
2. Bangsal Pangwarit diiringi oleh Abdi Dalem Prajurit Kalang, Gowong, Undhagi, Selakerti.
3. Gajah kenaikan Sunan, diapit oleh Abdi Dalem Srati.
4. Kuda kenaikan Sunan diiringi oleh Abdi Dalem Gamel.
5. Para Abdi Dalem Bupati Nayaka Jawi Kiwo dan Tengen: Panumping, Panekar, Sewu Numbak Anyar, Siti Ageng Kiwo Tengen, Bumi, Bumija, diiringi oleh Abdi Dalem Kliwon, Panewu, Mantri, naik kuda dengan berpayung.
6. Abdi Dalem Bupati Anom Anon-Anon beserta Panewu, Mantrinya, terdiri dari: Abdi Dalem: kemasan, greji, pandhe, sayang, gemblak (gembleg), puntu, samak, tukang laras, tukang warangka, tukang ukir, jlagra, slembar, gupyuh, tukang cekathak, tukang pasppor, tukang landheyan (tempat tombak), undhagi, bubut, kendhi, niyaga, badhut, dhalang, tukang sungging, tukang natah wayang, tukang cat, tukang prada, tledhel, kebon dharat, mengiringi gamelan terdiri dari: Kyai Surak, Kyai Sekar Delima, Kyai Sekar Gadhung, diberi payung kuning.
7. Selanjutnya diikuti oleh tukang song-song (payung), tukang pasar, tukang tulup, tukang jemparing (panah), tukang jungkat (sisir), teluk, gebyar, tukang musik, (batik), Patih Raden Adipati Pringgalaya dan Patih Raden Adipati Sindureja disertai benda-benda upacara kepatihan.
8. Prajurit Kompeni lima kompi dengan berkuda.
9. Benda-benda upacara Kadipaten Anom diiringi oleh para Abdi Dalem Punakawan, emban, cethi, nyai.

Kemudian Raden Adipati Anom naik kuda, berpayung berjajar dengan Mayor Hagendrop, diiringi oleh Abdi Dalem Kadipaten Anom dan ditutup oleh Pepatih dan Wedana Kadipaten: RT. Wirapraja.
10. Abdi Dalem Prajurit Sarageni dan Sarantaka, disambung dengan bedhug dengan diiringi Abdi Dalem Merbot, Penghulu, Khetib, Ulama, pradikan, berkuda dan berpayung. Disambung: Cekal Kyai Baladewa dibawa oleh Abdi Dalem Kebayan lengkap.
11. Para Sentana, Panji, Riya Pangeran, putra, berkuda, berpayung, ditutup oleh Abdi Dalem Suranata, juru besarta anak buahnya.
12. Para punakawan, Hurdenas, ponylompret Belanda, tombak milik Sunan, kiri kanan mengapit benda-benda upacara kerajaan: banyak dhalang sawung galing dibawa oleh Abdi Dalem Gandhek Mantri Anom, berpayung kuning.
Disambung benda-benda pusaka kerajaan: bendhe (canang) Kyai Bicak. Pembawanya naik kuda berpayung kuning. Disambung Abdi Dalem Gajah Mati dengan membawa Carak Kyai Nakula Sadewa, cemeti milik raja, Kyai Pecut, Kemudian Raja diiringi oleh Abdi Dalem Keparak kIwa Tengen dengan membawa benda-benda upacara Kerajaan.
Kemudian para prajurut Tamtama, kiri kanan masing-masing dua ratus orang prajurit. Disambung oleh Abdi Dalem Prajurit Mertalulut dan Singanagara, membawa pusaka oleh Abdi Dalem Keparak Kiwa Tengen berjumlah empat pulih orang, berkuda diiringi benda-benda upacara Kabupaten.
13. Abdi Dalem Keputren: Nyai Tumenggung atau Nyai Lurah Keparak Jawi dan Lebet naik tandu/kremun atau tandu kajang dan ada yang berkuda, beserta anak buah. Disambung para Wedana, Panewu, Mantri, Kliwon beserta anak buah. Kemudian istri Patih Pringgalaya dan Patih Danurejo.
Disambung Abdi Dalem Bedaya Srimpi Manggung Ketanggung atau pembawa benda-benda upacara, para Ratu serta para emban dan para Nyai. Kemudian Permaisuri Sunan diiringi oleh Abdi Dalem Gedhong Kiwa Tengen empat orang, Abdi Dalem Kliwon, Panewu, Mantri Jajar.
Disamping putera-puteri Sunan dan para Selir (Priyatun Dalem), para istri Bupati Mancanagara, semua Keputren ini sebagian besar naik tandu, kremunjoli atau jempana.
14. Benda-benda pusaka Kerajaan, dimasukkan ke dalam gendhaga (bokor), serta buku-buku Kerajaan dibawa oleh Abdi Dalem Keparak, diiringi oleh Abdi Dalem Kasepuhan, Bupati, Kliwon, Panewu, Mantri, para prajurit dan para panahan.
15. Para Abdi Dalem Perempuan, bekerja dapur beserta perlengkapan dapur, Abdi Dalem Krapyak, dengan membawa beras, ayam, dan sato iwen lain, upeti para Adipati Mancanagara.
Kemudian Abdi Dalem Jajar beserta perlengkapan rumah tangga, Abdi Dalem Pamajegan membawa kayu bakar, arang, sapit, sajen, tampah (niru), tebok, ancak, seruk (bakul), tumbu, sapu, godhong (daun), ethong, lesung, lempong, alu ujon, kukusan, irus, solet, dan sejenis peralatan dapur lainnya.
Kemudian pusaka Dalem Dandang Kyai Dhudha, pusaka Panjang Kyai Blawong, Kendhil Kyai Marica, dijaga oleh Nyai Gandarasa yang naik tandu, diiringi oleh Bupati Gading Mataram besarta anak buahnya. Kemudian disambung oleh Galadhag Pacitan membawa batu, tempat minum harian milik Raja, Sela Gilang, teras bagi Siti Hinggil Sela Gilang di Bangsal Pangrawit, Bangsal Manguntur Tangkil dan batu-batu pasalatan (untuk sembahyang), padasan, para perdikan Mancanagara, mimbar, bedhug Masjid Besar Kyai Rembeg.
Semua benda-benda pusaka tersebut diberi payung kuning, diletakkan di atas gendhaga.


16. Pohon beringin pukuran (yang ditanam di alun-alun Selatan/pukuran) diiringi oleh Abdi Dalem Pancar Mancanagara.
17. Abdi Dalem Dagang, sudagar, kriya, pangindung, blatik (pedagang kambing), mudel, umbal, mranggi, pangukir, rakyat jelata Karaton Kartasura.
18. Binatang ternak milik para putera sentana, para Bupati, Kliwon, Panewu Mantri beserta anak buahnya.
19. Abdi Dalem Pandhelegan, tukang mencari ikan, tukang baita (perahu), pambelah, jurumudi, jagal (penyembelih hewan).
20. Narindu milik Raja dijaga oleh Abdi Dalem Tuwa Baru dan Abdi Dalem Mancanegara Kilen.
21. Abdi Dalem Mancanagara wetan dan kulon, membawa pusaka meriam Nyai Setomi dan meriam-meriam lainnya.

Yang turut di dalam perpindahan tersebut kurang lebih ada 50 ribu orang (limang leksa). Didalam perjalanan tersebut sangat lambat. Jarak antara istana Kartasura sampai desa Sala memakat waktu kurang tujuh jam.
Jalan yang dilalui, mula-mula merupakan jalan setapak melewati hutan dan semak belukar. Hutan dan semak belukar itu ditebas untuk dijadikan jalan perpindahan. Jalan itu sekarang adalah jalan Pasar Klewer ke barat terus sampai ke kartasura, melalui alun-alun Kerajaan Pajang, dan berangkat dari Alun-alun Kartasura.
Setelah sampai di desa Sala, segera diadakan pengaturan pembagian tempat. Smentara para “:Pandherek” masih berkumpul di alun-alun. Setelah istirahat beberapa lama, diadakanlah upacara menghadap Raja (pasewakan agung). Tempatnya di Tatag Rambat (sekarang pagelaran).

Pada pasewakan agung itu bersabdalah Sunan Paku Buwana II kepada segenap hadirin:
Heh kawulaningsun, kabeh padha ana miyarsakna pangandikaningsun! Ingsun karsa ing mengko wiwit dina iki, desa ing Sala ingsun pundhut jenenge, ingsun tetepake dadi negaraningsun, ingsun parigi jeneng Negara Surakarta Hadiningrat. Sira padha angertekna sakawulaningsun satalatah ing Nusa Jawa kabeh.
(Pawarti Surakarta 1939 = 26).
(Hai hambaku, dengarkan semuanya sabda saya. Saya berkeinginan sejak hari ini, desa di Sala saya ambil namanya, saya tetapkan menjadi negara saya, saya beri nama negara Surakarta Hadiningrat. Kalian siarkanlah ke seluruh rakyatku di seluruh wilayah Tanah Jawa seluruhnya).

Kemudian diadakan doa syukur, dan diadakan penanaman pohon beringin kurung sakembaran di alun-alun utara (muka) dipimpin oleh Patih Pringgalaya dan Patih Sindureja. Beringin itu diberi nama: sebelah Timur, Kyai Jayandaru dan sebelah Barat, Kyai Dewandaru. Sedang pohon beringin kurung sekembaran yang ditanam di alun-alun selatan (pungkuran, belakang) dilaksanakan oleh Bupati Mancanegara.

Setelah selesai diadakan selamatan selesailah upacara perpindahan pusat kerajaan dari Kartasura ke Surakarta Hadiningrat. Lama pembangunan bangunan Kompleks istana memakan waktu sekitar delapan bulan, sering dilakukan kerja siang malam.

Selanjutnya selama lebih kurang satu bulan warga kota baru itu diperkenankan menngadakan “bujana handrawina”, berpesta pora di rumah masing-masing atau bersama-sama dengan para lurah (pemimpin) mereka.

Babad Giyanti menambahkan:’segalanya telah berjalan dengan baik sebagaimana mestinya (satata amamangun) dan biarpun tanah tidak rata, para pembesar bergegas membangun kediaman mereka yang baru dengan teratur (samya atata wisma).
Dengan naskah itu, tampak bahwa persyaratan nujum lebih penting dari pada topografi tanah. Di samping itu, istana ditetapkan sebagai bagian utama. Kita juga diberitahu bahwa pemberkatan tanah itu hanya dapat dilakukan dengan bantuan pelbagai benda keramat yang dialihkan dari Karaton terdahulu, yaitu keempat pohon waringin, bangsal pangrawit-yang sangat keramat karena mengandung bongkah batu yang dianggap bekas singgasana Hayam Wuruk (hal ini menjamin keterkaitannya dengan Majapahit)- seperti juga berbagai pusaka yang merupakan jaminan bahwa wahyu benar-benar ada pada raja yang sedang memerintah.

Kediaman para bangsawan menempati satu kawasan berisi empat yang luas, yang dikelilingi oleh tembok tinggi 3-6 meter, yang dinamakan Baluwarti/benteng (dari bahasa Portugis baluarte), dan belum lama berselang oleh sebuah parit (jagang). Ruang bertembok itu diantara dua alun-alun bujursangkar yang luas, alun-alun utara dan selatan. Di Surakarta benteng itu berukuran 1000 x 1800 meter ; di Yogyakarta dinding itu melingkari wilayah seluas 140 ha.

D. Pembangunan Kota
Setelah selesai masa “bujana handrawina”, mulailah diadakan pengaturan tempat tinggal. Di pusat istana bertempat tinggal Raja dengan keluarganya serta beberapa “priyatun dalem”. Di kompleks istana yaitu di dalam Baluwarti ditempatkan para Pangeran Putra dan Abdi Dalem yang dekat dan selalu berhubungan dengan kebutuhan harian istana, misalnya tukang masak (gandarasa), tukang tari (carangan), priyaga pinter istana (Brajanala): perlengkapan istana (Gedhong dan Lumbung) dan sebagainya.

Sedangkan di luar tembok istana ditempatkan kerabat raja (Hadiwijaya, Suryahamijaya), dan perlengkapan putera-puteri raja (Karatonan, tulisan, kuplukan, dan sebagainya). Abdi Dalem Keparak Kiwa dan Tengen ditempatkan di luar istana. Begitu pula benteng Belanda, rumah para pembesar Belanda.
Sedangkan para prajurit ditempatkan pada batas kota (Sarageni, Mertalulut, Singanegara, Jayataka, Miji Pinilih, dan sebagainya). Penampatan itu per golongan atau kelompok. Maka terciptalah nama-nama kampung didasarkan pada nama kelompok Abdi Dalem (Kalangan, Jagalan, Metalulutan, Saragenen, Gandekan Kiwa, Baluwarti, dan lain-lain). Hal ini untuk memudahkan mengingatnya.

Setelah pengaturan tempat tinggal para Sentana, Abdi dan Kawula Dalem selesai pengaturannya, termasuk para pejabat Pemerintah Kompeni Hindia Belanda, orang-orang Asing, para petugas Misionaris dan Zendeng, maka bersamaan dengan itu mulai dibangun pasar-pasar, seperti Pasar Harjanagara (Pasar Besar), Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Pahing (Pasar Nangka), Pasar Wage (Pasar Jongke), Pasar Nglorengan/Slompretan/Klewer, dan lain-lain.

Demikianlah kota cepat berkembang, pada masa Paku Buwana IV kota Sala sudah hampir sama dengan kota Sala jaman Paku Buwana X. Lebih-lebih setelah dibangun jembatan Jurug dan Jembatan Bacem, banyak pedagang dari luar kota berdatangan berdagang di kota Sala.
Hal lain yang perlu ditambahkan adalah adanya tradisi pemberian nama tempat dan nama orang dalam masyarakat Jawa. Nama-nama tempat/kampung dan nama orang di Surakarta juga dipengaruhi tradisi ini.

Tradisi pemberian nama pada setiap masyarakat bangsa tidak mesti sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan budayanya. Orang Indian menggunakan tradisi Totemisme, orang Cina menggunakan tradisi She, dan sebagainya.
Pada orang Jawa, tradisi pemberian nama agak unik. Apabila kata bin atau binti menunjukkan tradisi Islam bila bin atau ibn menunjukkan keturunan laki-laki, maka binti adalah untuk anak perempuan.
Di beberapa suku bangsa sering menggunakan nama marga untuk menunjukkan keluarga besar, Klan atau sukunya. Misalnya marga Harahap, Sihombing, Nainggolan dan sebagainya dan biasanya digunakan oleh beberapa suku bangsa di Sumatera Barat dan Tengah. Fungsi marga ini sama seperti She dalam tradisi Cina
Pada tradisi pemberian nama orang Jawa sepanjang sejarahnya hampir selalu mengalami perkembangan akibat budaya dan monesisnya dari jamannya.

Pada masa Jawa Hindu, yaitu masa antara abad ke 5 – 11 pengaruh Hinduisme masih sangat kuat. Maka nama-nama yang dipakai bernafaskan keagamaan Hindu. Bahkan ada unsur awatara ( penitisan atau inkarnasi ) masuk ke dalam pemberian nama tersebut.

Hingga hal ini memudahkan bagi kita untuk menetapkan yang bersangkutan itu menganut agama apa. Namun demikian, akibat kurangnya data sejarah, kita sangat sulit untuk dapat menemukan nama masa kanak-kanak ( nama pribadi ).
Nama-nama yang kita peroleh dari sumber sejarah yang kita temukan berupa prasasti, merupakan nama ketika berkuasa ( period name ) atau mungkin bahkan nama Prabasuyasa atau percandian ( temple name ).
Hanya pada masa awal Mataram Hindu, nama-nama yang kita temukan kelihatannya seperti nama pribadi, bukan nama jabatan ( sebagai penguasa ) misalnya : Purnawarman, Sanjaya, Sanaha, Pancapana, Warak, Garung, Pikatan dan sebagainya yang semuanya berciri nama pribadi.

Selanjutnya kita temukan nama Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu atau Rakai Watukura Ishwara Kesawasawatungga ( Samarattungga ) yang bernafaskan Syiwaisme adalah nama untuk raja Balitung dari Kerajaan mataram Hindu.

Sesudah masa Balitung ini, maka nama raja-raja biasanya menggunakan nama ketika memerintah ( period name ) serta nama percandiannya ( temple name ) Misalnya : Dakshatama Bahubraja Pratipakshaya untuk raja Daksa, juga bernafaskan Syiwaisme. Pangganti Raja Daksa ialah Rakai Layang Dyah Tulodong Shri Sajjanasanmaturaga Tunggadewa untuk raja Tulodong, dan Rakai Pangkaya Dyah Wawa Shri Wijayalokanamatungga untuk raja Wawa. Nama-nama tersebut merupakan nama percandian ( temple name )

Selanjutnya pada masa Jawa Timur, terutama pada masa Medang Kahuripan dan Kediri mulai terjadi sedikit perubahan. Pada masa ini sifat Hinduisme sudah agak berkurang dan mengarah ke Hindu Jawa. Sifat kewisnuan nampak kuat disamping unsur Asli mulai muncul. Latar belakang pemakaian nama Dewa (Iswara, Vajra, Ishana, Dewa, Lokeswara, Uttunggadewa, dan sebagainya) menunjukkan masih kuatnya pengaruh ajaran inkarnasi dalam Hinduisme.

Peristiwa demikian ini terjadi lagi pada masa Islam yang dengan menggunakan nama-nama seprti Muhammad, Fatahillah, Abdul Mufakir, Yusuf dan sebagainya menunjukkan nafas keislaman.


Masa Medang Kahuripan maupun Kediri masih nampak adanya pengaruh inkarnasi tersebut. Ternyata di dalam gelar berikut: Sri Dharmawangsateguh Anantawikramatunggadewa untuk raja Dharmawangsa Teguh, Rakai Halu Shri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa untuk raja Airlangga. Kemudian muncul sebutan digdaya, bhuwana, bumi, menunjukkan gaya kejayaan. Misalnya; Shri Maharaja Rake Sirikan, Shri Kameswara Sakalabhuwana Mustikarana Sarwaniwaryawirya Parakrama Didayutunggadewa untuk Raja Kameswara II, Sang Mahapanji Jayabaya Sri Dharmeswara Madusudanawatara-ninditha Suhersinga untuk Raja Jayabaya, dan sebagainya.
Disamping itu muncul nama Juru Dyah dan Prasanta (Jodeh dan Santa); Sabda Palon dan Naja Genggong; Si Dudul dan Si Dulet; Dora dan Sembada; Duduga dan Prayoga adalah nama-nama Abdi kinasih raja atau pangeran yang menjadi tokoh utama dalam suatu cerita.

Juga nama-nama berlatar belakang Totemisme, ialah suatu kepercayaan asli dengan menggunakan nama-nama hewan atau keadaan alam, seperti: Lembu Amilihur, Lembu Amisani, Lembu ampal, Lembu Tal, Gajah Mada, Gajah Enggon, Kebo Ijo Kebo Nabrang, Kebo Tengah, Kudamerta, Kuda Waneng Pati, Kuda Lalayean, Candrakirana, Sekartaji, Hayam Wuruk, Kencana Wungu, Damarwulan, Minakjingga, dan lain-lain yang berkembang pada masa Kediri, Singasari dan Majapahit. Bersamaan dengan itu munculpula nama-nama Jawa: Tohjaya, Kertanagara, Ranggalawe, Sora, Nambi, Semi, Kuti, Jayanegara dan lain-lain.

Perkembangan selanjutnya mengarah kepada pola Kejawaan dan Jawa. Nama pribadi atau nama kanak-kanak mulai kita kenal. Mungkin nama kanak-kanak ini sejak semula memang sudah ada, hanya kita yang kekurangan data. Akhirnya yang sudah ketahui sekarang adalah kanak-kanak dan nama keluarga, nama panggilan, nama paraban, nama jabatan, serta nama babtis.

Ada beberapa dasar tradisi pemberian nama itu.

1. Dasar situasi dan kondisi lingkungan sekitar: Sela, Wanasaba, Wonogiri, Semarang, Karangbolong, Dalemreja, Sala, Jurang Jero, Ledhok, Tegal Kuniran dan sebagainya.
2. Dasar harapan masa depan yang gemilang: Wnakerta, Kartasura, Surakarta, Ngayogyakarta, Umbulreja, Sala, Jurong Jero, Ledhok, Tegal Kuniran dan sebagainya.
3. Dasar penguasa atau orang terhormat di tempat itu: Singasaren, Jayanegaran, Danukusuman, Pringgalayan, Purwapuran, Purwaprajan, Cakranegaran, Wiragunan, Purwadiningrat, Yudanegaran, Reksoniten dan sebagainya.
4. Dasar kelompok Abdi Dalem di tempat itu: Gandekan Kiwa/Tengen, Mertolulutan, Singanegaran, Miji Pinilihan, Saragenen, Jayatakan, Brajanalan, Kabangan, Jagalan, Gajahan, Kepunton, Tamtaman, dan sebagainya.

Nama dan toponimi berhubungan erat. Dasar inilah yang digunakan Purbacaraka untuk menentukan letak Bekasi atas dasar Prasasti Tugu.
Selanjutnya tentang ada beberapa pengertian: “Toponimy is the study of toponimis” (Random House Dictionary, 1968: 1386). M.J. Koenens (1938 – 1038) mengatakan bahwa toponimi adalah pengetahuan tentang nama-nama (plastsnamen kunde). Arti dari kedua pendapat tersebut antara lain ialah ilmu yang bergerak dalam pengetahuan tentangpenelitian nama-nama tempat.

Dari kedua pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa dengan pengetahuan toponimi kita dapat menentukan atau menunjukkan nama-nama atas tempat-tempat tertentu dan akhirnya dapat kita tentukan peta geografisnya. Dengan toponimi pula kita dapat menentukan pola-pola berpikir dan merasa diri penduduk di suatu tempat atau lokal atau daerah tertentu pula pada suatu waktu. Bahkan nama suatu tempat, desa atau kota saja dibuatkan suatu cerita untuk mengesahkan tentang nama tempat, desa atau kota tersebut.

Beberapa contoh dapat untuk menunjukkan pola berpikir masyarakat suatu daerah.

1. Nama Banyuwangi, terjadi dari suatu cerita seorang bangsawan yang membunuh istrinya yang tidak bersalah. Sebelum meninggal istrinya, berkata “Apabila air sungai ini berbau wangi (harum) pertanda bahwa saya tidak bersalahi. Demikianlah benar-benar air sungai itu berbau harum, dan bangsawan itu berteriak ‘Banyuwangi’ yang akhirnya menjadi nama kota di Jawa Timur itu.
2. Semarang, terjadi karena di situ dahulu menjadi pusat penimbunan buah asam (asem) dan arang (Asem) dan arang menjadi Asemarang-Semarang).
3. Boyolali berhubungan dengan cerita Kyai Ageng Pandanarang (Sunan Tembayat) dalam perjalanannya dari Semarang akan berzirah ke makam di Jabalkat (Tembayat). Dalam cerita tersebut muncul nama-nama: Gombel, Srondol, Ungaran, Salatiga, Boyolali, Teras, Majasanga, Banyudana, dan sebagainya.
4. Begitu pula tentang nama-nama Tangkuban Perahu, Tegal Arum, Weleri, Kali Wungu, Dieng (Dihyang), Magelang, Banyumas, dan sebagainya.
Sehubungan dengan uraian ini, kata Surakarta adalah nama sebuah kota di daerah Jawa Tengah Selatan yang dijadikan pusat kerajaan Mataram akhir dan Kasunanan Surakarta. Kata Surakarta sendiri mempunyai beberapa nama:
1. Bagi seorang seniman, nama kata ini disebutkan Kota Bengawan seperti halnya kota Gudeg untuk Yogyakarta; Kota Kembang untuk Bandung, Kota Perjuangan untuk Surabaya dan lain-lain.
2. Masyarakat pedesaan menyebutnya Nagari, sebab mengingat sejarahnya, kota ini dahulu menjadi pusat pemerintahan (Kutha Negara Kerajaan, pusat kedudukan Raja.
3. Secara tradisional, kota ini disebut Kutha Sala, di mana Kutha berarti tempat yang dikelilingi tembok tinggi (kutha negara). Disamping itu, penyebutan tersebut menunjukkan kesederhanaan berpikir, sikap dan pandangan hidup orang Jawa. Ucapan Wong Sala lebih dikenal daripada Wong Surakarta, seperti halnya Wong Majapahit, Wong Blambangan, dan sebagainya.
4. Para wisatawan lebih senang menyebutnya Kota Solo, seperti lagu ciptaan Gesang, yaitu Bengawan Solo, karena dinilai sebagai pusat budaya Jawa dengan sifat khas budaya kejawen.
5. Secara administratif pemerintah (resmi) dan dalam sumber-sumber resmi tertulis, disebut kota Surakarta atau Surakarta Hadiningrat.

Demikian uniknya Wong Sala atau Wong Jawa dalam soal nama.Pembahasan terhadap tradisi pemberian nama baik orang maupun tempat akan mengangkat usaha menemukan gejala-gejala masa lampau yang berproses menjadi hasil karya dalam bidang budaya masyarakat, terutama masyarakat Jawa.
Maka dalam pembahasan tradisi pemberian nama ini akan menyangkut pula masalah: pertama, kapan Kutha Sala tumbuh dan bagaimana latar belakang sejarahnya yang kemudian berkembang menjadi Pusat Kebudayaan Jawa dan Kerajaaan Surakarta Hadiningrat; kedua, latar belakang budaya yang manakah yang melahirkan nama-nama perkampungan di kota Surakarta berbeda dengan nama-nama perkampungan di kota-kota lain kerajaan Kejawen (Vorstenladen).



diambil dari babad solo

0 komentar:

Posting Komentar