Selasa, 23 November 2010

left behind

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 19.46



when you left this town

and of course left me alone

when your shadow still appear in my mind

that's very painful

left behind

alone

I still wanna go there

but at this rate, it will ends with failure

again

and I'll cry in my room

like always I do

but still, I wanna go

when the future seems so dark

and all my dreams disappear

one by one


can I?

Sabtu, 20 November 2010

tetembangan jawa

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.26



ketika saya kecil, hampir tiap hari saya mendengarkan tetembangan jawa, baik itu secara langsung atau tidak langsung, ketika kakek saya dengan tidak sengaja 'nembang' pada pagi hari, ketika memainkan permainan anak-anak teman masa kecil, ketika mengaji di surau dinding kayu, ataupun ketika sayup-sayup adzan maghrib mulai terdengar -karena biasanya setelah itu gemulainya tembang mulai dialunkan-. Saya pun hafal beberapa, pitik walik jambul, buto galak, cublek-cublek suwung, padang bulan, dan tentunya yang wajib untuk bisa : macapat.



tapi sekarang, sepertinya tidak akan terdengar lagi. Pengaruh modernisasi dengan HP, Televisi, Internet, dan sejenisnya -meskipun bayak manfaat- membuat lagu-lagu ini mulai terpinggirkan. Sekarang lagu yang sedang marak di kalangan anak kecil adalah lagu-lagu yg dibawakan di televisi. lagu-lagu tentang cinta, yang dibawakan oleh penyanyi yang (sebagian besar) kelakuannya tidak bisa ditiru, dan kadang liriknya asal-asalan. Bukan salah mereka, memang kita hanya berjalan pada keadaan yang seperti itu.



Tetembangan jawa mempunyai makna, arti, & pesan -tersirat atau tersurat- tentang berbagai hal mengenai kehidupan. Saya bersyukur pernah hidup & mendengar tetembangan ini. Saya bersyukur pernah merasakan bermain bersama teman-teman memainkan permainan jawa, saya bersyukur pernah mandi di kali ataupun 'nyemplung' di sawah, dan saya juga bersyukur hidup di masyarakat yang megajari saya etika, norma, tata krama, tata susila, ungguh-ungguh, subasita, & pitutur -sesuatu yang menjadi keistimewaan khas orang Jawa-



berikut saya berikan beberapa contoh tetembangan yang masih bisa saya ingat :



Pitik Walik Jambul

pitik walik jambul

sega golong mambu enthong

monggo sami kundur

weteng kulo sampun kosong

enake…enak

sega liwet jangan terong

teronge ijo

bocah keset dadi bodho

teronge bunder

bocah sregep dadi pinter



Padang Bulan

Yo prakonco dolanan ning njobo

Padang bulan padange kaya rina

Rembulane e wis awe awe

Ngelingake ojo padha turu sore...

Yo prokonco yo podho mreneo

Rame rame ing kene suko suko

Langite padang sumebyar lintang

Yo podho dolanan sinambi cangkriman ...



Cublak-cublak Suweng

Cublak-cublak Suweng

Suwenge ting gelenter

Mambu ketundung gudel

Pak empo lirak-lirik

sapa ngguyu ndelekake

sir sir pong

dele gosong

sir-sir pong

dele gosong



Eling-eling sira manungsa

(Bait awal serat 'Ojo Dumeh Sugih Banda')

Eling-eling sira manungsa,

Temenana anggenmu sholat ngaji,

Mumpung durung katekanan

Malaikat juru pati.

Luwih susah luwih lara,

Rasane wong nang naraka,

Klabang kures kalajengking,

Klabang geni ula geni,

Rante geni,gada geni.

Cawisane wong kang dosa,

Angas mring kang Maha Kwasa,

Goroh,nyolong main zina.

Luwih beja luwih mulya,

Rasane manggon suwarga,

Mangan turu diladeni,

Kasur babut edi peni.

Cawisane wong kang bekti,

Maring Allah kang Maha Suci,

Sadat salat pasa ngaji,

Kumpul-kumpul ra ngrasani.



Buto Galak

buto-buto galak,

solahmu lunjak-lunjak,

sarwi sigrak-sigrak,

nyandhak kanca nuli tanjak,

bali ngadeg maneh,

rupamu ting celoneh,

iki buron apa tak sengguh buron kang aneh,

lha wong kowe..we..we

sing mara-marai ihi-ihi aku wedi ayo kanca padha bali,

galo kae-galo kae,

mripate plerak-plerok,

kulite ambengkerok,

hi..hi.. aku wedi…..

ayo kanca padha bali



Sluku-Sluku Bathok

sluku-sluku bathok,

bathoke ela-elo,

si rama menyang solo,

leh-olehe payung motho,

mak jenthit lolo lobah,

wong mati ora obah,

nek obah medeni bocah,

nek urip goleka dhuwit



update jika sudah ingat, tangan pegel leh nulis....



sebenarnya ada satu tembang yang sedang saya cari versi full nya. karena saya tanya-tanya ternyata banyak yang tidak akrab dengan tembng ini. dan saya pun hanya mengenal beberapa potong liriknya, seperti ini :



.....Munkar Nakir menika asmane

ditakeni malaikat benjing

yen sampun dumugi akhirat

Nggih sinten tho Malaikat punika

Utusane Allah kang maha mulya

........dadi tanggung jawab....

......



tembang bagus dengan makna yang sangat dalam....



cekap semanten, menawi wonten salah pakecapan kula nyuwun pangapunten....



rahayu,

nuwun

Dokter Oen

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.25

Dokter Oen, yang mempunyai nama asli Oen Boen Ing, adalah seorang dokter terkenal yang sosiawan di kota Solo.

Oen Boen Ing dilahirkan dalam sebuah keluarga pedagang tembakau yang kaya-raya, cucu seorang sinshe Tionghoa yang juga suka menolong banyak orang. Karena pengaruh kakeknya itulah, ia kemudian dikenal sebagai dokter yang banyak membantu pasiennya, khususnya mereka yang tidak mampu membayar biaya dan ongkos membeli obat-obatan.

Karena itulah, sejak lulus sekolah menengah, Boen Ing sudah ingin mempelajari ilmu kedokteran Barat dan menjadi dokter. Namun keinginan ini ditentang keras oleh keluarganya, karena mereka tidak mau ia menjadi kaya dari penderitaan orang yang sakit. Meskipun demikian, ia tetap bertekad mewujudkan cita-citanya untuk menjadi dokter. Ia pun mendaftarkan diri di School tot Opleiding van Inlandsche Arsten (STOVIA) di Batavia, dan lulus pada 1932.

Nama Oen Boen Ing tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Rumah Sakit Panti Kosala yang dimulai sebagai sebuah poliklinik kecil yang bernama Tsi Sheng Yuan atau Jisheng Yuan. Pada tahun 1935 Dr. Oen Boen Ing mulai terlibat dalam pelayanan klinik tersebut dan kemudian menjadi pemprakarsa berdirinya Yayasan Kesehatan Tsi Sheng Yuan, yang kemudian membentuk RS Panti Kosala. Hal ini terjadi sekitar tahun 1951, ketika Poliklinik Tsi Sheng Yuan dilepaskan dari HCTNH. Dr. Oen Boen Ing menganjurkan agar Tsi Sheng Yuan menjadi sebuah yayasan untuk menampung kegiatan poliklinik.

Rumah sakit yang didirikan oleh Yayasan Tsi Sheng Yuan ini biasa disebut sebagai Rumah Sakit Kandang Sapi, karena pada 1954 rumah sakit ini dipindahkan ke daerah Kandang Sapi (Mojosongo) dan menjadi rumah sakit besar.

Sampai tahun 1942, poliklinik Tsi Sheng Yuan banyak membantu Chineesche Burger Organisatie (CBO) dan semasa pendudukan Jepang dikelola oleh Kakyo Sokai (Gabungan Organisasi-organisasi Tionghoa). Ketika perang kemerdekaan datang, poliklinik berubah fungsi menjadi rumah sakit darurat, menampung para pejuang dan pengungsi.

Menurut kesaksian Soelarso, Ketua Paguyuban Rumpun Eks Tentara Pelajar Detasemen II Brigade XVII, "...tanpa menghiraukan tembakan Belanda, Dr Oen keluar masuk wilayah TNI untuk mengobati para prajurit..."

Sebagai dokter, Oen Boen Ing terkenal tidak membeda-bedakan pasiennya, apapun juga kelompok etnis, suku, agama, dan kelas sosialnya. Bahkan pasien dibiarkannya mengisi ataupun tidak mengisi kotak uang yang terletak di ruang praktiknya secara suka rela. "Tugas seorang dokter adalah menolong," demikian semboyan kehidupan dan pelayanan Dr. Oen.

Ketika Dr. Oen meninggal dunia pada 1982, rakyat banyak sungguh merasakan kehilangan yang besar. Hal ini tampak dari kehadiran ribuan rakyat kecil kepadanya yang berdiri di tepi jalan untuk memberikan penghormatan mereka yang terakhir kepada orang yang telah berjasa memberikan kehidupan yang lebih sehat kepada mereka di tengah-tengah keberadaan mereka yang serba kekurangan.

Karena jasa-jasanya dan pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada masyarakat, Dr. Oen Boen Ing mendapatkan penghargaan Satya Lencana Bhakti Sosial dari pemerintah Republik Indonesia. Beliau juga dianugerahi gelar kebangsawanan oleh Sri Mangkunegoro VIII, dengan nama Kanjeng Raden Tumenggung Oen Boen Ing Darmohusodo. Kemudian Sri Mangkunegoro IX menaikkan gelarnya dari Kanjeng Raden Tumenggung menjadi Kanjeng Raden Mas Tumenggung Aryo Oen Boen Ing Darmohusodo.

Dokter Lo

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.24



Dokter Lo, mirip hantu. Namanya menjadi bahan pembicaraan, juga kekaguman, namun sosoknya jarang terlihat. Dokter Lo Siauw Ging, 74 tahun kadang memakai tongkat, identik dengan dokter gratis, bagi pasien-pasiennya. Membuka praktek di kediamannya di Jagalan, Jebres, dari pukul 06.00 hingga pukul 08.00, pagi. Disambung sore hari, pukul 16.00 hingga pukul 20.00. Dengan bayaran gratis, atau semampu pasien. Berapa saja. Tidak jarang yang mendapat bantuan obat gratis, atau kadang bantuan untuk mondok di rumah sakit. "Ada donatur yang tak mau disebutkan identitasnya."

Dokter Lo sendiri juga menolak publikasi, bahkan tidak suka difoto.

"Ini panggilan jiwa saya. Sebagai manusia, saya ingin membantu yang tidak mampu."

Ucapan sederhana, merendah, dan menjamah masalah yang mendasar. Bahwa sesungguhnya, kesehatan adalah hak semua umat manusia. Hak tersebut juga dilindungi undang-undang. Maka cukup menyedihkan kalau sampai ada warga yang tak bisa memperoleh hak untuk sehat.

Bagi Dokter Lo, bukan bayaran jasa konsultan medisnya yang penting. "Ada kepuasan tersendiri. Itu yang tak bisa diukur dengan uang." Di tengah dunia yang begitu mengejar harta, di arus kuat 'menjadi dokter agar kaya', kehadiran Dokter Lo tergolong luar biasa. Para pasien yang berobat kepadanya - yang juga diberi nasehat atau marah karena terlambat berobat, bisa bercerita panjang lebar. "Sang dewa penolong" ini juga tak berniat memensiunkan diri. Karena, bisa ditebak, masih selalu ada yang memerlukan jasa baiknya.

Dokter Lo seakan membuktikan bahwa sesungguhnya kebaikan tanpa pamrih masih bisa dilakukan. Pendahulunya, Dokter Oen - yang kini diabadikan namanya menjadi rumah sakit besar dan masih tetap sosial, adalah contoh hidup, contoh kemanusiaan yang perkasa, yang berjalan diam-diam. Yang tak memerlukan hura-hura kekaguman, atau menjadi tenar karena perbuatan sosialnya. Ini yang monumental. Ini yang menyebabkan kita masih terus mempercayai bahwa masih banyak orang-orang yang baik, yang memperhatikan sesamanya, yang peduli, dan tak ingin dipuji secara berlebihan.


Matur nuwun pak dokter, bahkan kata ini pun bisa jadi hanya diucapkan dalam hati.

.

.

.

diambil dari Kitab Solo

HIK

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.14

wedangan hik



HIK, tempat berjualan makanan serba ada, bisa dalam bentuk penjualnya menjajakan keliling, dan atau kemudian lebih banyak menetap. Kelompok ini juga dikenal dengan sebutan tempat wedangan, minum-minum tanpa ada konotasi minuman keras, atau juga angkringan. Banyak juga yang menggunakan sebagian dari halaman rumahnya, atau menempati emperan toko. Jumlahnya bisa puluhan untuk satu jalan yang sama. Mereka menjadi komunitas tersendiri, dengan pelanggan tetap, dengan teman pelanggan, dengan keleluasaan waktu untuk ngobrol.

Ini memang lebih menekankan placement, penempatan, dibandingkan dengan makanan yang dijual. Karena dari satu hik dengan yang lain, satu wedangan dengan wedangan yang lain, satu tempat angkringan dengan yang lain, tak beda-beda amat. Suasana yang membedakan, dan keleluasaan untuk berbicara apa saja. Dari soal politik negara sampai dengan nasib tetangga, dari soal janda muda sampai janda siapa. Komunitas kecil, tapi jumlahnya banyaaaak sekali, menjadikan malam tak pernah sepi, menjadikan jam tidur malam hari ke titik terendah.Salah hatinya yang dikelola Jembuk-begitulah, masing-masing punya nama akrab panggilan dari Rachmat Wahono, di jalan Ronggowarsito. Dan Jembuk pun dengan enteng bisa berkomentar."Solo sudah menjadi kota mati." Yang dimaksudkan dulu banyak pengamen cokekan, atau pengamen keroncong, kini tak ada lagi. Menurut cerita, hiknya merupakan "pionir", karena berdiri 20 tahun lalu, dan masih sama, hingga kini.

Jembuk banyak berkenalan dengan tamu penting yang mampir di tempatnya,-termasuk para calon bupati atau walikota, atau siapa saja. Ia turut mendengarkan, turut berbicara dan merasa puas.

Di komunitas ini sebenarnya kita bisa mendengarkan keluhan yang paling menyakitkan - disuarakan dengan keras atau guyonan, adu pendapat tentang topik apa saja, dan bisa berakhir tanpa harus ada kesimpulan. Untuk disambung di malam berikutnya. Dengan orang-orang yang sama dan topik yang berbeda, atau sebaliknya, topik yang sama dengan orang yang berbeda. Keleluasaan inilah yang membuatnya bertahan karena suasana ini tak akan ditemui di pub, di cafe, di mal, di plaza, atau rumah makan sekali pun. secara keseluruhan bisa menjadi tumpahan uneg-uneg, baik masih gagasan atau harapan, atau keinginan. Yang datang bisa menjadi pembicara, bisa menjadi penyanggah, bisa menjadi moderator, bisa menjadi semuanya. Bisa juga menjadi pendengar. Dan selalu ada cerita di tempat semacam ini. Bersambung atau berdiri sendiri. Hik masih akan terus bertahan, dengan elusan dada atau kebanggan, selama orang masih memerlukan ruang untuk berbicara dengan leluasa.

Lha mangga... ngersakaken punapa...







diambil dari kitab solo

Aku Pernah Datang dan Aku sangat Penurut

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.08

mariposa




True Story !!! Yu Yuan Gadis Kecil Berhati Malaikat, yang berjuang hidup dari Leukimia Ganas. Setelah merasa tidak dapat disembuhkan lagi, ia rela melepaskan segala-galanya dan menyumbangkan untuk anak-anak lain yang masih punya harapan. Sungguh .. tak abis kata-kata untuk Yu Yuan. Terima kasih telah memberikan contoh mulia kepada kami…

Kisah ini tentang seorang gadis kecil yang cantik yang memiliki sepasang bola mata yang indah dan hati yang lugu polos. Dia adalah seorang yatim piatu dan hanya sempat hidup di dunia ini selama delapan tahun. Satu kalimat terakhir yang ia tinggalkan di batu nisannya adalah "saya pernah datang dan saya sangat penurut". Anak ini rela melepasakan pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana pengobatan sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari perkumpulan orang Chinese seluruh dunia. Dia membagi dana tersebut menjadi tujuh bagian, yang dibagikan kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Dan dia rela melepaskan pengobatannya.

Begitu lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Dia hanya memiliki seorang papa yang mengadopsinya. Papanya berumur 30 tahun yang bertempat tinggal di provinsi She Cuan kecamatan Suang Liu, kota Sang Xin Zhen Yun Ya Chun Er Cu. Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan pasangan hidupnya. Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin tidak ada lagi orang yang mau dilamar olehnya.

Pada tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10 imlek, adalah saat dimana papanya menemukan anak kecil tersebut diatas hamparan rumput, disanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang kedinginan. Pada saat menemukan anak ini, di dadanya terdapat selembar kartu kecil tertulis, 20 November jam 12.



Melihat anak kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah. Papanya berpikir kalau tidak ada orang yang memperhatikannya, maka kapan saja bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya memeluk bayi tersebut, dengan menghela nafas dan berkata, “saya makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya makan”. Kemudian, papanya memberikan dia nama Yu Yan.



Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang membesarkan seorang anak, tidak ada Asi dan juga tidak mampu membeli susu bubuk, hanya mampu memberi makan bayi tersebut dengan air tajin (air beras). Maka dari kecil anak ini tumbuh menjadi lemah dan sakit-sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan sangat patuh. Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan bertambah besar serta memiliki kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, walaupun dari kecil sering sakit-sakitan dan mereka sangat menyukai Yu Yuan. Ditengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan tumbuh dewasa.



Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar biasa, mulai dari umur lima tahun, dia sudah membantu papa mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju, memasak nasi dan memotong rumput. Setiap hal dia kerjakan dengan baik. Dia sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua, sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya mengandalkan dia dan papa yang saling menopang. Dia harus menjadi seorang anak yang penurut dan tidak boleh membuat papa menjadi sedih dan marah.



Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri sudah sangat mengerti, harus giat belajar dan menjadi juara di sekolah. Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak berpendidikan menjadi bangga di desanya. Dia tidak pernah mengecewakan papanya, dia pun bernyanyi untuk papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi di sekolahnya di ceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan mengeluarkan soal-soal yang susah untuk menguji papanya.



Setiap kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia. Walaupun tidak seperti anak-anak lain yang memiliki mama, tetapi bisa hidup bahagia dengan papa, ia sudah sangat berbahagia. Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada suatu pagi saat Yu Yuan sedang mencuci muka, ia menyadari bahwa air cuci mukanya sudah penuh dengan darah yang ternyata berasal dari hidungnya. Dengan berbagai cara tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut. Sehingga papanya membawa Yu Yuan ke puskesmas desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga mengeluarkan darah dan tidak mau berhenti. Dipahanya mulai bermunculan bintik-bintik merah. Dokter tersebut menyarankan papanya untuk membawa Yu Yuan ke rumah sakit untuk diperiksa.



Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan nomor karena antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri dikursi yang panjang untuk menutupi hidungnya. Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air yang terus mengalir dan memerahi lantai. Karena papanya merasa tidak enak kemudian mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar dari hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil tersebut sudah penuh berisi darah yang keluar dari hidung Yu Yuan.



Dokter yang melihat keadaaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal yang memerlukan biaya sebesar 300.000 $. Papanya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Papanya hanya memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara meminjam uang ke sanak saudara dan teman dan ternyata, uang yang terkumpul sangatlah sedikit. Papanya akhirnya mengambil keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli.



Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus. Dalam hati Yu Yuan merasa sedih. Pada suatu hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar. “Papa saya ingin mati”.



Papanya dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan, “Kamu baru berumur 8 tahun kenapa mau mati”. “Saya adalah anak yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak berharga, tidaklah cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah sakit ini.”



Pada tanggal 18 juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal huruf, menandatangani surat keterangan pelepasan perawatan. Anak yang berumur delapan tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakamannya sendiri.



Hari itu juga setelah pulang kerumah, Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah memiliki permintaan, hari itu meminta dua permohonan kepada papanya. Dia ingin memakai baju baru dan berfoto. Yu Yuan berkata kepada papanya: “Setelah saya tidak ada, kalau papa merindukan saya lihatlah melihat foto ini”. Hari kedua, papanya menyuruh bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah yang memilih baju yang dibelinya. Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih dengan corak bintik-bintik merah. Begitu mencoba dan tidak rela melepaskannya. Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto. Yu Yuan kemudia memakai baju barunya dengan pose secantik mungkin berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia berusaha tersenyum, pada akhirnya juga tidak bisa menahan air matanya yang mengalir keluar. Kalau bukan karena seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti selembar daun yang lepas dari pohon dan hilang ditiup angin.



Setelah mengetahui keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian menuliskan sebuah laporan, menceritakan kisah Yu Yuan secara detail. Cerita tentang anak yg berumur 8 tahun mengatur pemakamannya sendiri dan akhirnya menyebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satu negara bahkan sampai ke seluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk menggalang dana bagi anak ini. Dunia yang damai ini menjadi suara panggilan yang sangat kuat bagi setiap orang.



Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah mengumpulkan 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang.



Setelah itu, pengumuman penggalangan dana dihentikan, tetapi dana terus mengalir dari seluruh dunia. Dana pun telah tersedia dan para dokter sudah ada untuk mengobati Yu Yuan. Satu demi satu gerbang kesulitan pengobatan juga telah dilewati. Semua orang menunggu hari suksesnya Yu Yuan. Ada seorang teman di-email bahkan menulis: “Yu Yuan anakku yang tercinta saya mengharapkan kesembuhanmu dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan sehat. Yu Yuan anakku tercinta.”





Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan yang telah melepaskan pengobatan dan menunggu kematian akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan dan dia sangat menderita didalam sebuah pintu kaca tempat dia berobat. Yu Yuan kemudian berbaring di ranjang untuk diinfus. Ketegaran anak kecil ini membuat semua orang kagum padanya. Dokter yang menangani dia, Shii Min berkata, dalam perjalanan proses terapi akan mendatangkan mual yang sangat hebat. Pada permulaan terapi Yu Yuan sering sekali muntah. Tetapi Yu Yuan tidak pernah mengeluh. Pada saat pertama kali melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang, jarum suntik ditusukkan dari depan dadanya, tetapi Yu Yuan tidak menangis dan juga tidak berteriak, bahkan tidak meneteskan air mata. Yu yuan yang dari dari lahir sampai maut menjemput tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu. Pada saat dokter Shii Min menawarkan Yu Yuan untuk menjadi anak perempuannya. Air mata Yu Yuan pun mengalir tak terbendung.



Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu memanggil dengan sebutan Shii Mama. Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min kaget, dan kemudian dengan tersenyum dan menjawab, “Anak yang baik”. Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan dan banyak orang menanyakan kabar Yu Yuan dari email. Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi dan telah berjuang menerobos sembilan pintu maut. Pernah mengalami pendarahan dipencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah putih dari tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang pun menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.



Tetapi efek samping yang dikeluarkan oleh obat-obat terapi sangatlah menakutkan, apalagi dibandingkan dengan anak-anak leukemia yang lain. Fisik Yu Yuan jauh sangat lemah. Setelah melewati operasi tersebut fisik Yu Yuan semakin lemah.



Pada tanggal 20 agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan: “Tante kenapa mereka mau menyumbang dana untuk saya? Tanya Yu Yuan kepada wartawan tersebut. Wartawan tersebut menjawab, karena mereka semua adalah orang yang baik hati”. Yu Yuan kemudia berkata : “Tante saya juga mau menjadi orang yang baik hati”. Wartawan itupun menjawab, “Kamu memang orang yang baik. Orang baik harus saling membantu agar bisa berubah menjadi semakin baik”. Yu yuan dari bawah bantal tidurnya mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada ke Fu Yuan. “Tante ini adalah surat wasiat saya.”



Fu yuan kaget, sekali membuka dan melihat surat tersebut ternyata Yu Yuan telah mengatur tentang pengaturan pemakamannya sendiri. Ini adalah seorang anak yang berumur delapan tahun yang sedang menghadapi sebuah kematian dan diatas ranjang menulis tiga halaman surat wasiat dan dibagi menjadi enam bagian, dengan pembukaan, tante Fu Yuan, dan diakhiri dengan selamat tinggal tante Fu Yuan.



Dalam satu artikel itu nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih ada sembilan sebutan singkat tante wartawan. Dibelakang ada enam belas sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Tolong,……. Dan dia juga ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada orang- orang yang selama ini telah memperhatikan dia lewat surat kabar. “Sampai jumpa tante, kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakan ini juga pada pemimpin palang merah. Setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit seperti saya. Biar mereka lekas sembuh”. Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya.



Saya pernah datang, saya sangat patuh, demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir Yu Yuan. Pada tanggal 22 agustus, karena pendarahan dipencernaan hampir satu bulan, Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Mula mulanya berusaha mencuri makan, Yu Yuan mengambil mie instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan di pencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat pun secepatnya memberikan pertolongan darurat dan memberi infus dan transfer darah setelah melihat pendarahan Yu Yuan yang sangat hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis.



Semua orang ingin membantu meringankan pederitaannya. Tetapi tetap tidak bisa membantunya. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit tersebut akhirnya meninggal dengan tenang. Semua orang tidak bisa menerima kenyataan ini melihat malaikat kecil yang cantik yang suci bagaikan air. Sungguh telah pergi kedunia lain.



Dikecamatan She Chuan, sebuah email pun dipenuhi tangisan menghantar kepergian Yu Yuan. Banyak yang mengirimkan ucapan turut berduka cita dengan karangan bunga yang ditumpuk setinggi gunung. Ada seorang pemuda berkata dengan pelan “Anak kecil, kamu sebenarnya adalah malaikat kecil diatas langit, kepakanlah kedua sayapmu. Terbanglah……………” demikian kata-kata dari seorang pemuda tersebut.



Pada tanggal 26 Agustus, pemakaman Yu Yuan dilaksanakan saat hujan gerimis. Didepan rumah duka, banyak orang-orang berdiri dan menangis mengantar kepergian Yu Yuan. Mereka adalah papa-mama Yu Yuan yang tidak dikenal oleh Yu Yuan semasa hidupnya. Demi Yu Yuan yang menderita karena leukemia dan melepaskan pengobatan demi orang lain, maka datanglah papa mama dari berbagai daerah yang diam-diam mengantarkan kepergian Yu Yuan.



Di depan kuburannya terdapat selembar foto Yu Yuan yang sedang tertawa. Diatas batu nisannya tertulis, “Aku pernah datang dan aku sangat patuh” (30 nov 1996- 22 agus 2005). Dan dibelakangnya terukir perjalanan singkat riwayat hidup Yu Yuan. Dua kalimat terakhir adalah disaat dia masih hidup telah menerima kehangatan dari dunia. Beristirahatlah gadis kecilku, nirwana akan menjadi lebih ceria dengan adanya dirimu.



Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu Yuan itu adalah : Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu, Zhang Yu Jie, Gao Jian, Wang Jie. Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.



Pada tanggal 24 September, anak pertama yang menerima bantuan dari Yu Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil melakukan operasi. Senyuman yang mengambang pun terlukis diraut wajah anak tersebut. “Saya telah menerima bantuan dari kehidupan Anda, terima kasih adik Yu Yuan, kamu pasti sedang melihat kami diatas sana. Jangan risau, kelak di batu nisan, kami juga akan mengukirnya dengan kata-kata “Aku pernah datang dan aku sangat patuh”.



Kesimpulan:



Demikianlah sebuah kisah yang sangat menggugah hati kita. Seorang anak kecil yang berjuang bertahan hidup dan akhirnya harus menghadapi kematian akibat sakit yang dideritanya. Dengan kepolosan dan ketulusan serta baktinya kepada orang tuanya, akhirnya mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan Dunia.


Walaupun hidup serba kekurangan, Dia bisa memberikan kasihnya terhadap sesama. Inilah contoh yang seharusnya kita pun mampu melakukan hal yang sama, berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama, memberikan sedikit kehangatan dan perhatian kepada orang yang membutuhkan. Pribadi dan hati seperti inilah yang dinamakan pribadi seorang Pengasih.

being an idiots

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.08



Things that frighten me? You ask me because I'm an idiots, isn't it? well, there are the things which the idiots has to fear. An idiots is afraid that he's being made fun of his childhood, of his dream, of the things to which he holds dear. And finally, that he's being lied to. Me doesn't like being lied to.

An idiots always submitted to the fear, because he's honest with himself. An idiots are also human that submit to their desires. When they're hungry, they eat. When they want to read, they take a book. When they cry, they look for comfort.

I'm the type of idiots who with all these desires and these fears. And I'm proud of being an idiots.

what's going on with children's song?

Posted by Lambayun Arya Wisanggeni On 16.02

seluruhnya copas from : http://lookism.wordpress.com/


anak gembala


Di bawah sinar matahari pagi, wajah berseri-seri
Kita semua tiap hari mandi, di sungai jernih murni
Lihatlah lihat embun pagi hari, menghias bunga melati
Menari-nari, bersinar berseri membawa salam pagi

A very old song from my very old memory (thank God masih bisa ingat ini) yang sampai sekarang masih menempel somewhere on my brain cells. I used to sing it together with my mom, or when my elementary teacher told us to sing individually in front of the class.

Lagu yang sangat sederhana, by Ibu Kasur perhaps, I am not sure. Tipikal lagu anak-anak jaman dulu yang memang tidak akan memusingkan si anak dengan line-line yang rumit dan gak bakal mereka mengerti.

Mungkin gak perlu kembali mundur sejauh era Ibu Kasur, tapi lagu anak-anak setelah masa itu juga masih cukup enak dan pantas didengar. Semacam Melisa’s Abang Tukang Bakso, Giovani’s Ayo Menabung, atau Si Komo Lewat by Kak Seto. And then, what happened? Silence. Another silence. A long period of silence. Of course, there was Sherina. But that’s just it.

Dan, bertahun-tahun setelah itu??? BOOM!!! Everybody seems to be amazed by the the so-called reality-show-in-search-of-new-stars. You name it, AFI, KDI, Indonesian Idol, and a whole lot more. The worst thing is, they all have their own junior version. Nah, disinilah semuanya terasa begitu menyakitkan (dramatisir dikit gak papalah).

Gimana gak menyakitkan, saat melihat seorang anak berumur kira-kira 7-8 tahun menyanyikan lagu-lagu Peter Pan, D’Massiv, Kerispatih, and others. Kata-kata macam, “Cinta kita”, “Bersamamu”, “Jangan tinggalkan aku”, bertebaran dimana-mana. What the…???

Siapa yang harus disalahkan? Mereka diharuskan menyanyi setiap minggu, dengan lagu berbeda. Pilihan apa lagi yang mereka punya? And to be honest, singing “Balonku ada lime” even in R&B version won’t get them those sms they need to win the competition. I just wish we have more children song writer, and the industry can have the strong will to support it. But again, no sms = no money for the industry. And then we can have another equation. Oh well…