HIK, tempat berjualan makanan serba ada, bisa dalam bentuk penjualnya menjajakan keliling, dan atau kemudian lebih banyak menetap. Kelompok ini juga dikenal dengan sebutan tempat wedangan, minum-minum tanpa ada konotasi minuman keras, atau juga angkringan. Banyak juga yang menggunakan sebagian dari halaman rumahnya, atau menempati emperan toko. Jumlahnya bisa puluhan untuk satu jalan yang sama. Mereka menjadi komunitas tersendiri, dengan pelanggan tetap, dengan teman pelanggan, dengan keleluasaan waktu untuk ngobrol.
Ini memang lebih menekankan placement, penempatan, dibandingkan dengan makanan yang dijual. Karena dari satu hik dengan yang lain, satu wedangan dengan wedangan yang lain, satu tempat angkringan dengan yang lain, tak beda-beda amat. Suasana yang membedakan, dan keleluasaan untuk berbicara apa saja. Dari soal politik negara sampai dengan nasib tetangga, dari soal janda muda sampai janda siapa. Komunitas kecil, tapi jumlahnya banyaaaak sekali, menjadikan malam tak pernah sepi, menjadikan jam tidur malam hari ke titik terendah.Salah hatinya yang dikelola Jembuk-begitulah, masing-masing punya nama akrab panggilan dari Rachmat Wahono, di jalan Ronggowarsito. Dan Jembuk pun dengan enteng bisa berkomentar."Solo sudah menjadi kota mati." Yang dimaksudkan dulu banyak pengamen cokekan, atau pengamen keroncong, kini tak ada lagi. Menurut cerita, hiknya merupakan "pionir", karena berdiri 20 tahun lalu, dan masih sama, hingga kini.
Jembuk banyak berkenalan dengan tamu penting yang mampir di tempatnya,-termasuk para calon bupati atau walikota, atau siapa saja. Ia turut mendengarkan, turut berbicara dan merasa puas.
Di komunitas ini sebenarnya kita bisa mendengarkan keluhan yang paling menyakitkan - disuarakan dengan keras atau guyonan, adu pendapat tentang topik apa saja, dan bisa berakhir tanpa harus ada kesimpulan. Untuk disambung di malam berikutnya. Dengan orang-orang yang sama dan topik yang berbeda, atau sebaliknya, topik yang sama dengan orang yang berbeda. Keleluasaan inilah yang membuatnya bertahan karena suasana ini tak akan ditemui di pub, di cafe, di mal, di plaza, atau rumah makan sekali pun. secara keseluruhan bisa menjadi tumpahan uneg-uneg, baik masih gagasan atau harapan, atau keinginan. Yang datang bisa menjadi pembicara, bisa menjadi penyanggah, bisa menjadi moderator, bisa menjadi semuanya. Bisa juga menjadi pendengar. Dan selalu ada cerita di tempat semacam ini. Bersambung atau berdiri sendiri. Hik masih akan terus bertahan, dengan elusan dada atau kebanggan, selama orang masih memerlukan ruang untuk berbicara dengan leluasa.
Lha mangga... ngersakaken punapa...
diambil dari kitab solo
0 komentar:
Posting Komentar